Oleh Fikrul Umam MS
Secara konstitusional ditetapkan bahwa negara Indonesia berdasarkan pada agama. Artinya; bahwa Negara Indonesia melindungi dan menghargai kehidupan beragama dari seluruh warga Negara Indonesia. Berdasarkan tinjauan sosial kultural, memang terlihat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama sehingga kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.
Secara konstitusional ditetapkan bahwa negara Indonesia berdasarkan pada agama. Artinya; bahwa Negara Indonesia melindungi dan menghargai kehidupan beragama dari seluruh warga Negara Indonesia. Berdasarkan tinjauan sosial kultural, memang terlihat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama sehingga kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.
Sebagai negara yang berdasarkan agama, pendidikan agama tidak dapat diabaikan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Umat beragama beserta lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar dan sebagai modal dasar dalam pembangunan mental spiritual bangsa dan merupakan potensi nasional untuk pembangunan fisik materiil bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, agama tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia.
Keberhasilan pembangunan nasional harus ditunjang dengan pendidikan dan pengajaran agama. Dengan pendidikan dan pengajaran agama, warga negara akan memperoleh pendidikan moral dan budi pekerti yang akan membentuk bangsa Indonesia menjadi warga negara yang bermoral, bertanggung jawab, dan tahu nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Dengan modal jiwa yang bersih, beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, pembangunan nasional Indonesia dapat berjalan dengan sukses dan lancar. Akan tetapi, pendidikan agama tidak boleh bertentangan dengan pembangunan nasional. Semua bentuk pendidikan di Indonesia harus berdasarkan pada filsafat bangsa, Pancasila. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan sistem pendidikan nasional Indonesia. Semua tujuan pendidikan di Indonesia tidak boleh menyimpang dari ketentuan dan tujuan pendidikan nasional.
Adapun tujuan pendidikan nasional dirumuskan dalam GBHN sebagai berikut; “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa”.
Tranformasi Pesantren ke dalam Sistem Pendidikan Nasional
Secara historis pesantren telah
‘mendokumentasikan’ berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia, baik itu
sejarah sosial budaya masyarakat Islam, ekonomi, maupun politik bangsa Indonesia.
Sejak masa awal penyebaran Islam, pesantren adalah saksi utama bagi penyebaran
Islam di Indonesia, karena pesantren adalah sarana penting bagi kegiatan
islamisasi di Indonesia. Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara,
khususnya Jawa, tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan
pesantren. Berpusat dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan
politik Islam dikendalikan. Di masa Wali Songo, tidak sedikit wali-wali di Jawa
menguasai jaringan perdagangan antara pulau Jawa dengan luar Jawa, seperti
Sunan Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara Jawa dengan Kalimantan,
Maluku, Lombok dan sebagainya. Begitu pula dengan perjalanan politik Islam di
Jawa, pesantren mempunyai pengaruh yang kuat bagi pembentukan dan pengambilan
berbagai kebijakan di kraton-kraton. Misalnya, berdirinya kerajaan Demak,
adalah karena dukungan dan kontrol kuat dari para ulama, seperti Sunan Kudus,
Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Dari itulah dapat disimpulkan
bahwa dinamika masyarakat Islam di masa awal dapat ditandai dengan adanya
hubungan yang kuat antara pesantren, pasar, dan kraton. Pada mulanya, pesantren
menunjukkan suatu komentar yang dinamis dan kosmopolit, karena berkembang di
tengah-tengah masyarakat urban, seperti Surabaya (Ampel Denta), Gresik (Giri),
Tuban (Sunan Bonang), Demak (Sunan Kalijaga), Cirebon (Syarif Hidayatullah),
Banten, Aceh (Sumatera), Makassar (di Sulawesi) dan sebagainya.
Kedinamisan pesantren tidak
hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga maju dalam
bidang keilmuan dan intelektual. Majunya pesantren dalam keilmuan Islam,
Membuat Taufik Abdullah mencatat pesantren sebagai pusat pemikiran
keagamaan. Besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia,
khususnya Jawa, tidak berlebihan jika pesantren dianggap sebagai bagian
historis bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Apalagi, pesantren telah
dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia yang mengakar kuat dari masa
pra-Islam, yaitu lembaga pendidikan bentuk asrama Budha –mandala ata asyrama–
yang ditransfer menjadi lembaga pendidikan Islam.
Karenanya tidak heran jika sistem pendidikan pesantren dibanggakan sebagai alternatif yang otentik terhadap sistem kolonial dalam suatu perdebatan yang terjadi di saat pergerakan nasional telah mencapai usia lanjut.
Karenanya tidak heran jika sistem pendidikan pesantren dibanggakan sebagai alternatif yang otentik terhadap sistem kolonial dalam suatu perdebatan yang terjadi di saat pergerakan nasional telah mencapai usia lanjut.
Ketika Ki Hajar Dewantoro sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama, berpendapat bahwa pondok pesantren merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pemerintah juga mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional; oleh karena itu, harus dikembangkan, diberi bimbingan, dan bantuan. Wewenang pembinaan dan pengembangan tersebut berada di bawah wewenang Kementerian Agama.
Sikap menutup diri pesantren terhadap perubahan di sekelilingnya membuat pesantren dinilai konservatif. Pesantren dianggap kurang peka terhadap perubahan tuntutan zaman dan masyarakat. Sejalan dengan itu, pesantren dianggap kurang produktif. Alotnya pesantren dalam mereduksi sistem pendidikan modern, seperti yang direncanakan oleh pemerintah dan tercapainya pendidikan nasional, menyebabkan pesantren sering dilihat sebagai sistem pendidikan yang bersifat ”isolasionis”, terpisah dari ”aliran utama” pendidikan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, para
eksponen pesantren cenderung lebih hati-hati dalam menjawab perubahan
sekelilingnya. Mereka tidak tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan
pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam modern sepenuhnya, tetapi
menerimanya dalam skala yang sangat terbatas; sebatas melakukan penyesuaian
yang mereka anggap akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, seperti
sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal.
Pendirian madrasah di pesantren-pesantren semakin menemukan momentumnya semenjak KH Ahmad Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama. Ia melakukan pembaruan pendidikan agama Islam melalui peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1950, yang menginstruksikan pemberian pelajaran umum di madrasah dan memberi pelajaran agama di sekolah umum negeri dan swasta. Persaingan dengan madrasah modern dan sekolah-sekolah umum, mendorong pesantren-pesantren mengadopsi madrasah ke dalam pesantren.
Pesantren lebih membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Pesantren tidak hanya mengadopsi madrasah tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah umum. Pesantren Tebuireng Jombang adalah pesantren pertama yang mendirikan SMP dan SMA.
Langkah ini kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren lain, bahkan belakangan pesantren-pesantren berlomba-lomba mendirikan sekolah-sekolah umum untuk mengikuti tuntutan masyarakat agar santri bisa belajar pengetahuan agama dan menguasai pengetahuan umum seperti murid-murid di sekolah-sekolah umum sehingga akses santri dalam melanjutkan pendidikan semakin meluas seperti sekolah-sekolah umum di luar pesantren. Saat ini tidak jarang kita temui pesantren memiliki lembaga pendidikan umum mulai TK, SD, SMP, SMA di samping MI/MIN, MTs/MTsN, MA/MAN, dan Madrasah Muallimin.
Dengan demikian dapat disimpulkan, pesantren telah memberikan tanggapan positif terhadap pembangunan nasional dalam bidang pendidikan. Dengan didirikannya sekolah-sekolah umum maupun madrasah-madrasah di lingkungan pesantren membuat pesantren kaya diverifikasi lembaga pendidikan dan peningkatan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional.
Pesantren yang mulai merintis untuk mendirikan perguruan tinggi di antaranya adalah, pesantren Darul Ulum, Jombang. Pada september 1965, pesantren ini mendirikan Universitas Darul Ulum. Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, juga mendirikan Universitas Hasyim Asy’ari yang kemudian berubah menjadi Institut Kiai Haji Hasyim Asy’ari.
Langka sintesa konvergensi ini kemudian diikuti oleh beberapa pesantren besar, seperti Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo; Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, dan lain sebagainya. Dahulu, pesantren diklaim sebagai lembaga pendidikan yang tipikal dalam masyarakat Jawa. Tetapi kini, pesantren telah menjadi lembaga pendidikan Islam milik nasional. Beberapa daerah di Indonesia telah memakai istilah ”Pesantren”, seperti Sulawesi, dan Kalimantan. Bahkan Sumatera Barat juga memakai istilah “Pesantren” untuk menggantikan sistem pendidikan Islam Surau.
Penulis adalah pemerhati pendidikan, Direktur Kajian Yayasan Suro Al-Mahmudi Pati, Jawa Tengah
0 komentar:
Posting Komentar