MAKALAH
LANDASAN
KURIKULUM
Diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas pada mata kuliah
Pengembangan Kurikulum
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
\
Disusun oleh :
Susi
Widyawati (1209202191)
Suryanto (1209202190)
Taufiqurrahman
Noer M (1209202197)
Tika
Kartika (1209202199)
Weni
Gustiani (1209202208)
Winda
Puspita Sari (1209202211)
Yeni
Nurbaet Intani (1209202212)
Yana
Hendriyana (208203525)
PAI
BANDUNG
2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 2
A. Pengertian
Kurikulum................................................................... 2
B. Falsafah
Pendidikan ..................................................................... 3
C. Landasan
Psikologis...................................................................... 6
1. Landasan Psikologi................................................................. 6
2. Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Psikologi......................... 6
3. Ruang Lingkup Psikologi........................................................ 7
4. Landasan Psikologis Proses Pendidikan................................. 7
5. Tujuan Mempelajari Landasan Psikologis
Proses Pendidikan 7
6. Ruang Lingkup Landasan Proses Psikologis.......................... 7
D. Kemasyarakatan............................................................................ 8
1.
Masyarakat sebagai suatu Sistem
Sosial................................. 8
2.
Kekuatan Sosial yang Mempengaruhi
kurikulum................... 10
E. Pendekatan
Teknologis ................................................................. 11
BAB III KESIMPULAN................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrahim,
Segala
puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Illahi Rabbi karena atas berkat
limpahan rahmat serta karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata
kuliah pengembangna kurikulum yang berjudul “Landasan
Kurikulum”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan
kita nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat serta kepada para pengikutnya
yang setia.
Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan baik
dari segi isi maupun penyajiannya, hal tersebut dikarenakan keterbatasan ilmu
pengetahuan yang penulis miliki sehingga makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pengamat
makalah ini. Penulis mengharapkan saran serta kritik demi sempurnanya makalah
ini.
Akhir
kata penulis ucapkan terimakasih, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Bandung, September 20..
Penulis
ii
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Studi
tentang manajemen kurikulum dewasa ini smakin mendapat perhatian dari kalangan
ilmuwan yang menekuni bidang pengembangan kurikulum. Studi ini di anggap
sebagai bagian terpenting dalam studi pengembangan kurikulum. Hal ini wajar,
sebab kurikulum adalah komponen yang penting serta sebagai alt pendidikan yang
sangat vital dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Itu sebabnya, setiap
institusi pendididkan, baik formal maupun nonformal, harus memiliki kurikulum
yang sesuai dan serasi, tepat dengan kedudukan, fungsi dan peranan serta tujuan
lembaga tersebut.
Didalam
mengenal kurikulum kita harus mengetahui terlebih dahulu landasan-landasan
kurikulum, diantaranya landasan filosofis, landasan psikologis, landasan
sosiologis, dan landasan teknologis. Maka dari itu didalam pembahasan makalah
ini kami membahas tentang landasan-landasan kurikulum tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dari kurikulum
berdasarkan penjelasan para ahli?
2.
Apa Manfaat dari mempelajari kurikulum?
3.
Bagaimana landasan kurikulum jika ditinjau
dari segi filosofis, psikologis, sosiologis, dan teknologis?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui dari kurikulum berdasarkan
penjelasan para ahli
2.
Mengetahui manfaat mempelajari kurikulum.
3.
Mengetahui landasan kurikulum jika
ditinjau dari segi filosofis, psikologis, sosiologis, dan teknologis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kurikulum
Al-Khauly
(1981) menjelaskan bahwa kurikulum sebagai perangkat rencana dan media untuk
mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan.
Definisi
yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dikembangkan ke arah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Oliva
(1988), mendefinisikan kurikulum sebagai rencana atau program yang menyangkut
semua pengalaman yang dihayati peserta didik di bawah pengarahan sekolah atau
perguruan tinggi.
Definisi
yang dikemukakan oleh Kemp, Morrison dan
Ross (1994) menekankan pada isi mata pelajaran dan keterampilan-keterampiulan
yang termuat dalam suatu program pendidikan.
Dari
beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat ditarik benang merah,
bahwa di satu pihak ada yang menekankan pada isi pelajaran, dan dilain pihak
lebih menekankan pada proses atau pengalaman belajar. Kurikulum yang menekankan
pada isi, bertolak dari asumsi bahwa masyarakat bersifat statis. Sedangkan
kurikulum yang menekankan pada proses atau pengalaman bertolak dari asumsi
bahwa peserta didik sejak dilahirkan memiliki potensi-potensi, baik potensi
untuk berpikir, berbuat, memecahkan masalah, maupun untuk belajar dan
berkembang sendiri.
Dari
kedua pihak yang menekankan isi dan yang menekankan pada proses, muncul pihak
ketiga, yakni yang memadukan keduanya, yakni menekankan pada isi dan proses.
Pihak ini berasumsi bahwa manusia sebagai makhluk social.
Jika
ketiga pihak tersebut ditelusuri dari segi landasan filosofisnya, maka konsep
pengembangan kurikulum dari pihak pertama penganut aliran perennialisme dan essensialiisme.
Pihak kedua termasuk dalam progressivisme
dan eksistensialisme. Sedangkan
pihak ketiga termasuk dalam rekontruksi
social (Muhaimin, 2003).[1]
B.
Falsafah Pendidikan
Sekumpulan masyarakat tentunya menginginkan agar setipa
warganya merupakan insan-insan yang baik, sesuai dengan cita-cita dan nilai
social masyarakat tersebut. Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan
membentuk manusia yang baik. Menurut cita-cita dan nilai tersebut, pandangan
tentang manusia yang dicita-citakan tergambar dari falsafah pendidikan yang
mendasari system penidikan masyarakat tersebut. Salah satu perumusan tentang
falsafah pendidikan dikemukakan oleh Romine sebagai berikut:
“….An educational
philosophy is what one believes and purposes to do. It suggests a faith in some
ideals or values, plus appropriate course of action, it is appropriate to
philosophy”.
Perumusan diatas mengandung pengertian bahwa falsafah
pendidikan menyatakan sesuatu yang sangat penting, karena mengandung keyakinan
yang berupa serangkaian cita-cita dan nila-nilai yang sangat baik mmenurut
pandangan masyarakat. Disamping itu, suatu falsafah pendidikan member petunjuk
cara berbuat atau bertingkah laku yang baik dalam masyarakat. Selain itu,
falsafah pendidikan juga merupakan semacam Guiding principles bagi setiap
orang, dalam hal ini memberikan petunjuk dalam proses operasional untuk
mencapai cita-cita tersebut.
Maksud dan tujuan pendidikan disusun berdasarkan kumpulan
pemikiran sebuah falsafah pendidikan. Sebuah tujuan pendidikan adalah sebuah
pernyataan dari pemikiran penulis yang meyakini falsafahnya yang diarahkan
langsung untuk misi sekolah. Seperti dalm ucapan berikut.
Walaupun pemikiran filodofis ini dikenal dengan sebutan
yang berbeda, dan dalam sekolah juga terdapat falsafah pendidikan, pada umumnya
terdapat empat falsafah yaitu :
1.
Rekonstruksisme
Menurut Hilda taba, John Dewey secara konsisten mengamati
fungsi sekolah dalam kaidah psikologi. Berdasarkna filsafat Dewey,
Rekonstruksisme mengikuti sebuah alur
yang meyakini dan mengemukakan bahwa keberadaan sekolah adalah untuk adanya
perbaikan dalam masyarakat. Geirge S. Counts, dalam bukunya “Dare the school
Build a New Sosial Order” menantang para pendidik untuk kembali
memperitmbangkan peran sekolah dalam masyarakat.
Secara gamblang, Theodor Brameld
menguraikan nilai-nilai Rekonstruksisme, yaitu banyaknya orang yang
menginginkan hal-hal sebagai verikut :
a. Makanan yang cukup
b. Pakaian yag cukup
c. Perlindungan dan kebebasan
d. Kebutuhan seksual dan
pelayanan
e. Jiwa dan mental yang sehat
f. Rekan kerja dan bisnis
g. Persahabatan, saling setia
dan kepribadian
h. Pengakuan, penghargaan dan
status
i.
Sesuatu yang baru, keingitahuan, variasi, petualangan, pertumbuha,
dan daya kreasi
j.
Kemampuan membaca, kepandaian, dan informasi
k. Partisipasi dan tukar
pikiran serta
l.
Pengertian, perintah
dan tujuan
Beberapa pendidik setuju bahwa pemuda harus memikirkan
tantangan dan masalah social, ekonomi, dan politik, serta berusaha untuk
mencapai mufakat dalam mencari solusi. Premis utama dari falsafah ini adalah
untuk menjadikan sekolah sebagai agen utama dlam perubahan social.
2.
Perenialisme
Dalam tradisi plato, Aristoteles dan ahli filsafat Katolik,
St Thomas Aquinas, pendidikan bermaksud mengatur pikiran, kemampuan,
perkembangan rasio dan pencarian kebenaran.
Perenialisme sekuler mendukung kurikulum sebuah akademi
dengan tata bahasa, kepandaian berbicara, logika, bahasa lama dan baru,
matematika dan peradaban dunia. Berkaitan dengan hal ini, Robet M. Hutchins
dikenal sebagai orang yang meguraikan falasafah Perenialisme di amerika.
Menurutnya Perenialisme diajukan dari kebutuhan-kebutuuhan sekarang siswa,
spesifikasi pendidikan, dan latihan kejuruan. Hutchins memberikan penekanan ini
ketika ia menyatakan bahwa pendidikan yang disempurnakan untuk yang mendesak,
bukanlah sebuah pendidikan yang bermanfaat. Pendidikan ideal adalah sebuah
pendidikan yang ikut memperhatikan pengembangan pikiran. Secara garis besar,
Perenialisme tidak dapat membuktikan sebuah filsafat yang menarik untuk sistem pendidikan.
3.
Esensialisme
Menurut sejarah, esensialis dan progresifis berhasil
mengendalikan kesetiaan masyaraka umum Amerika dari tahun 1635, yang diawali
denga berdirinya sekolah latin Boston sampai tahun 1896, atas prakarsa asisten
John Dewey di Universitas Chicago, menurut esensialis, pendidikan bertujuan
untuk menyebarkan budaya. Apabila rekonstruksionis hendak mengubah masyarakat
secara aktif, sebaliknya esensialis menghindari hal tersebut.
Bahan pokok kurikulum adalah sebuah rencana esensialis
tentang organisasi kurikulum dan teknik-teknik pemberian pelajaran, dengan tes
sebagai metodenya. Karya ilmiah, yakni kemampuan mendaur ulang apa yang telah
dipelajari, merupakan nilai yang tinggi, dan pendidikan diawasi sebagai
persiapan mencapai maksid pendidikan, seperti perguruan tinggi, lapangan kerja
dan kehidupan.
Dalam falsafah ini terdapat prinsip behavioristik, yaitu
esensilitas meneukan dasar-dasar tingkah laku yang selaras dengan keyakinan
filosofis. Kemampuan dasar menjadi prioritas bagi esensialis. Begitu pula
halnya denganberbagai program pendidikan dan latihan yang menjadi titik
orientasi eensialis.
4.
Progresivisme
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, progresivisme
yang dikenal juga dengan nama pragmatism, berkembang melalui struktur
pendidikan di Amerika sebagai jawaban atas doktrin esensialisme. Dengan
tokoh-tokohnya seperti John Dewey, William H. Kilpatrick, John Childe, dan boyd
Bode, progresivisme berupaya menyajikan bahan dasar bagi para pelajar.
Berkaitan dengan hal ini, penganut progresivismw mebuka sekolah untuk anak-anak
sebagai sekolah penelitian di Universitas Chicgo. John Dewey pun kemudian
mengupullkan bahan-bahan pemikiran progresivisne dalam sebuah seri penerbitan,
antra lain “Democrary and Education”, “Experience and Education”, “How we
Think”, dan “Pedagogic Creed”.
Sikap progresivis yang menyatakan bahwa anak harus memahami
pengalaman pendidikan “di sisni ” dan “sekarang”, mepunyai filosofi “Pendidikan
adalah Hidup”, “belajar denga melakukan”. Para progresivis mendorong sekolah
agar menyediakan pelajaran bagi setiap individu yang berbeda, baik dalam
mental, fisik, emosi, spiritual dan perbedaan social.
C.
Landasan
Psikologis
1.
Landasan
Psikologi
Landasan
psikologis merupakan dasar-dasar pemahaman dan pengkajian sesuatu dari sudut
karakteristik dan prialku manusia, khususnya manusia sebagai individu.
Dasar-dasar pemahaman dan pengkajian tersebut diambil dari satu cabang ilmu
yang disebut psikologi.
2.
Tujuan dan
Kegunaan Mempelajari Psikologi
Setiap
orang membutuhkan pengetahuan tentang psikologi, sebab dalam kehidupan sesorang
selalu menghadapi, bergaul dan bekerjasama dengan oranglain. Orang-orang yang
dalam pekerjaanya memberikan pelayana kepada orang lain atau menghadapi orang
membutuhkan pengetahuan psikologi yang lebih banyak dan mendalam dibandingkan
dengan orang-orang yang menghadapi orang hanya dalam pergaulan dan dalam
kehidupan keluarga.
3.
Ruang Lingkup
Psikologi
a.
Psikologi umum
Sering disebut sebagai pengantar psikologi, merupakan studi tentang
prilaku atau kegiatan individu secara umum.
b.
Psikologi
Khusus
Terdiri dari
psikologi perkembangan seperti mempelajari prilaku dan karakteristik individu
dalam tahap perkembangan.
Psikologi
Kepribadiaan merupakan cabang dari psikologi yang khusus mempelajari
kepribadiian individu.
Psikologi
diferensial, mempelajari perbedaan-perbedaan kemampuan dan kegiatan dari
individu.
4.
Landasan
Psikologis Proses Pendidikan
Studi
atau ilmu yang mempelajari penerapan dasar dan prinsip-prinsip, metode-metode,
teknik dan pendekatan psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah
dalam pendidikan ini disebut ”Landasan Psikologis Proses Pendidikan”.[2]
5.
Tujuan
Mempelajari Landasan Psikologis Proses Pendidikan
Ada
2 tujuan yaitu yang pertama agar guru, para pendidik atau calon guru dan calaon
pendidik mempunyai paham yang lebih baik tentang situasi pendidikan.
Yng
kedua yaitu agar calon guru, pendidik atau guru mampu menyiapkan dan
melaksanakan pengajaran dan terhadap siswa, peserta didik dengan lebih baik.
6.
Ruang Lingkup
Landasan Proses Psikologis
Mempelajari
situasi pendidikan dengan fokus utama interaksi pendidikan yaitu interaksi
antara siswa dengan guru, yang berlangsung dalam situasi lingkungan.
D. Kemasyarakatan
Pendidikan merupakan suatu proses sosial, karena berfungsi
memasyarakatan anak didik melalui proses sosialisasi di dalam masyarakat
tertentu. Sekolah, sebagai salah satu institusi pendidikan, berperan juga
sebagai institusi sosial,karena melalui lembaga tersebut anak dipersiapkan
untuk mampu terjundan aktif dalam kehidupan masyarakatnya kelak.
Anak-anak berasal dari masyarakat, dan mereka belajar
tentang cara hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, sekolah harus bekerja
sama dengan masyarakat, dan program sekolah harus disusun dan diarahkan oleh
masyarakat yang menunjang sekolah tersebut. Program pendidikan disusun dan
dipengauhi oleh nilai, masalah, kebutuhan, dan tantangan dalam masyarakat
sekitarnya. Ini berarti kurikulum disusun berlandaskan dasar sosiologis yang
akan menjadi pembahasan dalam bab ini.
1.
Masyarakat
sebagai suatu Sistem Sosial
Ciri universal dari manusia adalah hidup dalam berkelompok.
Manusia lahir dalam berkelompok, dan melalui kehidupan bersama ini manusia
belajar dan memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan sebagainya.
Dalam berkelompok pula manusia mempelajari peralatan dan berbagai proses
kehidupan, serta menerima agama dan pandang hidup.
Masyarakat adalah suatu sistem atau totalitas, yang
didalamnya terdapat berbagai subsistem yang berjenjang secara struktural, mulai
dari subsistem kepercayaan subsistem nilai atau
norma-norma, subsistem kebutuhan, dan subsistem permintaan.
Subsistem kepercayaan menjadi dasar munculnya subsistem
nilai, yang kemudian mendasari subsistem kebutuhan, dan selanjutnya mendasari
subsistem permintaan. Pemenuhan atas suatu subsistem akan memengaruhi atau
mengubah subsistem berikutnya, demikian seterusnya.
Masyarakat suatu sistem maupun subsistem
berikutnya dapat memengaruhi proses pendidikan, oleh karenanya mereka harus
dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum.
a.
Subsistem Kepercayaan / Keyakinan Hidup
Setiap masyarakat mempunyai kepercayaan atau keyakinan
tentang bentuk manusia yang mereka cita-citakan. Cita-cita tersebut biasanya
terkandung dalam kepercayaan agama atau falsafah hidup masyarakat. Bangsa kita
memiliki keyakinan, bahwa manusia yang diharapkan atau dicita-citakan oleh
masyarakat adalah manusia pembangunan yang berpancasila. Di dalam pancasila
telah terkandung kayakinan beragama, sehingga dapat kita tafsirkan bahwa
manusia Pancasila sudah tentu memiliki keyakinan beragama. Falsafah Pancasila
ini menjadi dasar dari tujuan pendidikan nasional, yang berarti pula mendasari
kuikulum diberbagai sekolah kita.
b.
Subsistem Nilai
Nilai adalah ukuran umum yang di pandang baik oleh
masyarakat dan menjadi pedoman dari tingkah laku manusia tentang cara hidup
yang sebaik-baiknya. Nilai-nilai ini sesungguhnya bersumber dari subsistem
pandangan hidup yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai-nilai tadi merupakan
pertimbangan dan memberikan arah, umumnya terhadap pendidikan dan khususnya pembinaan
kurikulum.
c.
Subsistem kebutuhan masyarakat
Pada dasarnya, pendidikan berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum harus
berdasarkan kebutuhan masyarakat dan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Kurikulum yang demikian adalah kurikulum yang relevan dengan masyarakat.
d.
Subsistem permintaan atau tuntutan(demands)
Kebutuhan masyarakat mendorong munculnya permintaan yang
perlu dipenuhi. Sebagai contoh, andaikan masyarakat membutuhkan atau menuntut
adanya perumahan, penyelesaian kenakalan remaja, keterampilan, pengupahan dan
perburuan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Berdasarkan
permintaan-permintaan tersebut, maka perencana kurikulum dapat memilih
bahan-bahan dan pengalaman-pengalaman kurikulum yang relevan dengan masyarakat.
Dalam pengembangan kurikulum perlu dipertimbangan berbagai
masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini berguna untuk:
1) Mengorientasikan kurikulum
pada pusat-pusat kehidupan (major areas of
living)
2) Membantu merumuskan falsafah
dan tujuan-tujuan pendidikan;
3) Membantu pelaksanaan
berbagai prinsip dan prosesyang dipelajari melalui pengalaman-pengalaman
kurikuler;
4) Merangsang minat murid dan
mengusahakan kegiatan belajar menjadi lebih luas;
5) Melengkapi dasar
pengembangan unit-unit pelajaran;
6) Melengkapi dasar proyek dan
topik-topik pelajaran;
7) Melengkapi dasar
pengembangan pelajaran yang bertujuan dalam penyelesaian suatu masalah; dan
8) Melengkapi proyek kerja sama
sekolah dan masyarakat, ketika para siswa dapat berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan masyarakat.
2.
Kekuatan
Sosial yang Mempengaruhi kurikulum
Sekolah adalah institusi sosial yang didirikan dan
ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
wajar jika dalam penyusunan dan pelaksanaannya kurikulum sekolah banyak
berkembang dan selalu berubah didalam masyarakat. Pengaruh tersebut berdampak
pada komponen-komponen kurikulum seperti tujuan pendidikan, siswa, isi
kurikulum, maupun situasi sekolah tempat kurikulum dilaksanakan.
Berbagai kekuatan sosial yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum ada beraneka ragam. James W. Thornton dan John R. Wright, dalam
bukunya ’’secondary school curiculum’’, mengaflikasikan kekuatan sosial
yang mempengaruhi kurikulum:
a. Kekuatan sosial yang resmi,
terdiri atas:
1) Pemerintah suatu negara,
melalui Undang-Undang Dasar, dasar negara,falsafah dan ideologi negara;
2) Pemerintah daerah, melalui
berbagai kebijakn pemerintah dalam bidang pendidikan; dan
3) Perwakilan Departemen
Pendidikan setempat.
b. Kekuatn sosial setempat,
yang terdiri atas:
1) Yayasan-yayasan yang
bergerak di bidang pendidikan;
2) Kerukunan atau persatuan
keluarga sekolah-sekolah sejenis;
3) Perguruan Tinggi, yakni
universitas, akademi, maupun institut;
4) Persatuan Orang Tua Murid
dan Guru;
5) Penerbit buku-buku
pelajaran;
6) Perkumpulan yang berdasarkan
kemanusiaan;
7) Manusia masa seperti radio,
televisi, dan surat kabar; dan
8) Adat kebiasaan masyarakat
setempat.
c. Organisasi profesional,
seperti persatuan Guru, Persatuan Guru, Persatuan Dokter, dan ahli hukum.
E.
Pendekatan Teknologis
Pendekatan
teknologis dalam menyusun kurikulum bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu. Materi yang diajarkan,
criteria evaluasi sukses dan strategi belajarnya disesuaikan dengan job analysis. KBK termasuk ke dalam kategori pendekatan
teknologis.
Pembelajaran
PAI dikatakan menggunakan teknologis, jika ia menggunakan pendekatan system
dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan dan
menilainya. Manfaat dari pendekatan teknologis agar pencapaian hasil
pembelajarannya (tujuan) dapat dievaluasi dan diukur dengan jelas dan
terkontrol. Dari rancangan proses pembelajaran sampai mencapai hasil tersebut
diharapkan dapat dilaksanankan secara efektif, efisien, dan memiliki daya
tarik.
Adapun
keterbatasan dari pendekatan teknologis, diantaranya terbatas pada hal-hal yang
telah dirancang sebelumnya, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun
produknya. Apabila kegiatan pembelajaran PAI hanya sampai pada penguasaan
materi dan keterampilan menjalankan ajaran agama, bisa menggunakan pendekatan
teknologis, sebab proses dan produknya bisa dirancang sebelumnya. Namun, jika
pembelajaran PAI harus sampai pada taraf
kesadaran iman dan pengamalan ajaran agama Islam, maka pendekatan teknologis akan
sulit diterapkan, karena dari prosesnya bisa dirancang, tetapi hasil
pembelajarannya tidak bisa dirancang dan sulit diukur. Maka dari itu, tidak
semua pesan-pesan pembelajaran PAI dapat dilakukan dengan pendekatan
teknologis.[3]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
beberapa definisi para ahli mengenai kurikulum dapat ditarik benang merah yaitu
disatu pihak ada yang menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah dan dilain
pihak lebih menekankan pada proses atau pengalaman pelajaran.
Dengan
memahami pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang landasan-landasan
psikologis, guru-guru dan pendidik lainnya diharapkan mampu menciptakan
interaksi pendidikan, perlakukan mendidik yang efektif dan efisien.
Falsafah
pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting karena mengandung keyakinan
yang berupa serangkaian cita-cita dan nilai-nilai yang sangat baik menurut
pandangan masyarakat. Pada umumnya terdapat empat falsafah yaitu rekonstruksisme,
perelialisme, esensialisme, dan progresifisme.
Masyarakat
adalah suatu sistem atau totalitas yang didalamnya terdapat berbagai subsistem
yang berjenjang secara struktural mulai dari subsistem kepercayaan, subsistem
nilai atau norma-norma, subsistem kebutuhan, dan subsistem permintaan.
Masyarakat
merupakan sistem yang dapat mempengaruhi proses pendidikan, oleh karenanya hal
ini harus dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum.
Pembelajaran
PAI dikatakan menggunakan pendekatan teknologis jika di dalamnya terdapat
pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola,
melaksanakan, dan menilainya. Akan tetapi, pendekatan teknologis ini akan sulit
diterapkan karena proses dapat dirancang namun hasil pembelajrannya tidak dapat
dirancang dan sulit diukur.
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar,
2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Muhaimin, 2005.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Nana Syaodih
Sukmadinata, 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Sudjana, Nana,
2008. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Sekolah, Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
i
|
0 komentar:
Posting Komentar