1. Pengertian Ma’rifat
Ma’rifah adalah ketetapan hati yang dalam mempunyai hadirnya wujud yang wajib adanya yang menggambarkan segala kesempurnaan. Ma’rifah kadang-kadang dipandang sebagai maqam yang terpandang sebagai hal.
Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhannya Zunnun Al-Mishry berkata, Aku kenal Tuhanku juga, Kalau tidak dengan Tuhanku aku tidak mengenal Tuhanku”
Pengetahuan orang awam tentang Allah pada dasarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika. Pengetahuan tentang Tuhan diperoleh dengan perantaraan ucapan dua kalimat syahadat. Pengettahuan ulama mementingkan dalil dan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Allah disebut sebagai ilmu bukan ma’rifah.
1. Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.
Antara mahabbah dan ma’rifah ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya mahabbah menggambarkan hubungan dengan bentuk cinta, sedangkan ma’rifah menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
MAHABBAH DAN MA'RIFAH
Mahabbah senantiasa didampingi oleh ma'rifah. Mababbah dan mari'fah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan hubungan rapat antara sufi dan Tuhan. Sebagaimana halnya dengan mababbah, mari'fah juga terkadang dipandang sebagai maqam terkadang sebagai hal. Dalam hubungannya dengan maqamat, tentang urutan antara mahabbah dan ma'rifah terjadi perbedaan. Ada yang mendahulukan mahabbah,
ada pula yang mengatakan ma'rifah datang lebih dulu. Sufi yang mendahulukan mahabbah menganggap bahwa mari'fah adalah maqam yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh orang yang telah cinta kepada Allah. Allah tidak akan membukakan hijab-Nya jika seorang sufi belum benar-benar cinta kepada-Nya.
Sedangkan sufi yang mengatakan bahwa ma'rifah itu datangnya lebih dulu dari mahabbah, karena berpandangan bahwa seorang sufi harus mengenal Tuhan sebelum mencintai-Nya. Orang yang tidak mengenal-Nya tidak mungkin mencintai-Nya.
Menurut Titus Burckhardt, sebenarnya tidak ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani ini. Pengetahuan tentang Tuhan melahirkan cinta, sementara cinta mensyaratkan adanya pengetahuan mengenai objek cinta. Objek cinta rohani adalah keindahan Tuhan. Dan objek pengetahuan hati sanubari adalah kebenaran yang sebenarnya tentang Tuhan. Kebenaran dan keindahan itu menjadi ukuran satu sama lain.
Harun Nasution menyebutkan bahwa Rabi'ah, dengan pembagian dua cintanya, telah menggambarkan peralihan dari mahabbah ke ma'rifah. Rasa cinta yang tulus kepada Tuhan dibalas Tuhan, yaitu terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan, dan sufi pun melihat Tuhan dengan mata hati.
Tentang mari'fah, Rabi'ah sendiri pemah berkata: "Buah ilmu rohani adalah agar engkau palingkan mukamu dari makhiuk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja, karena mcl'rifahitu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya."
Ketika Rabi'ah ditanya: "Apakah kau melihat Tuhan yang kausembah?" Maka ia menjawab: "Jika aku tidak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya. Dari dua pernyataan Rabi'ah di atas dan dua cinta Rabi'ah, dalam sudut pandang sebagai maqamat, maka mahabbah
berdampingan dengan ma'rifah. Kebersamaan dua maqam ini barangkali akan lebih mudah dipahami jika kita kaitkan dengan pembagian ma'rifah oleh Dzu alNun al-Mishri dan
mahabbah oleh al-Sarraj. Pada keduanya ada pembagian dalam tiga tingkat.
Dzu al-Nun mengkiasifikasikan ma'nfah kepada tiga tingkatan:
1. Mari'fah awam : mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat
2. Ma'rifah ulama : mengetahui Tuhan dengan logika akal
3. Ma'rifah sufi : mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati
Ada banyak tanda yang harus kita tunjukkan sebagai bukti bahwa kita cinta kepada Allah swt.
1. BANYAK BERDZIKIR.
Secara harfiyah, dzikir artinya mengingat, menyebut, menuturkan, menjaga, mengerti dan
perbuatan baik. orang yang berdzikir kepada Allah Swt berarti orang yang ingat kepada Allah
Swt yang membuatnya tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan-Nya. Ini berarti dzikir
itu bukan sekedar menyebut nama Allah, tapi juga menghadirkannya ke dalam jiwa sehingga
selalu bersama-Nya yang membuat kita menjadi terikat kepada ketentuan-ketentuan-Nya.
Bagi seorang muslim, berdzikir merupakan hal yang amat penting, karenanya satu-satunya
perintah Allah Swt yang menggunakan kata katsira (banyak) adalah perintah dzikir kepada-Nya
sebagaimana firman Allah Swt: Hai orang yang beriman, berdzikirlah kamu kepada Allah, dzikir
yang sebanyak-banyaknya (QS 33:41).
Untuk menggambarkan betapa penting dzikir bagi seorang muslim, Rasulullah Saw sampai mengumpamakannya antara orang yang hidup dengan orang yang mati, ini berarti dzikir itu akan
menghidupkan jiwa seorang muslim, Rasulullah Saw bersabda:
artinya :
Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berdzikir seperti
orang hidup dan orang mati (HR. Bukhari).
2. MENGAGUMI.
Orang yang cinta kepada Allah swt akan kagum terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya, karenanya ia akan selalu memuji-Nya dalam berbagai kersempatan sebagaimana yang tercermin
pada firman Allah swt: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS 1:2)
Kekagumannya kepada Allah swt tidak akan membuat kekagumannya kepada selain-Nya
melebihi kekagumannya kepada Allah swt meskipun mereka mencapai kelebihan dan kekuasaan
yang besar karena semua itu memang tidak akan bisa menccapai kebesaran dan kekuasaan Allah,
bahkan semua itu sangat kecil dimata Allah swt.
3. RIDHA
Orang yang cinta berarti ridha dengan yang dicintainya, karena itu bila seseorang cinta kepada Allah swt, maka iapun ridha kepada segala ketentuan-ketentuan-Nya sehingga bila ia diatur dengan ketentuan Allah swt, maka ia tidak akan mencari aturan lain, karena hal itu hanya membuat ia menjadi tidak pantas menjadi seorang mukmin sebagaimana firman-Nya: Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (QS 33:36).
4. BERKORBAN
Tiada cinta tanpa pengorbanan, begitu pula halnya dengan cinta kepada Allah swt yang harus ditunjukkan dengan pengorbanan di jalan-Nya. Dalam hal apapun, manusia harus berkorban dengan segala yang dimilikinya. Orang yang bercinta pasti dituntut berkorban dengan apa yang dimilikinya.
Orang yang memiliki hobi atau kegemaran harus berkorban untuk bisa menyalurkan
apa yang menjadi kegemarannya itu. Orang yang berjuang di jalan yang bathilpun berkorban
dengan harta bahkan jiwanya. Abu Jahal, Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir lainnya berkorban
dengan harta dan jiwa mereka. Orang-orang munafik untuk maksud kemunafikannya juga
berkorban dengan apa yang mereka miliki, meskipun pengorbanan mereka hanya akan menimbulkan penyesalan bagi mereka, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang
kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan
menafkah harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke
dalam neraka jahannamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan (QS 8:36).
Bila mereka yang berjuang di jalan yang bathil saja mau berkorban, apalagi dalam perjuangan di jalan yang haq. Karena itu sifat pejuang sejati adalah mau berkorban dengan harta dan jiwanya, dan cinta kepada Allah swt berarti harus berkorban di jalan-Nya, ini merupakan kunci untuk mendapatkan surga-Nya, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang- orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar (QS 9:111).
5. TAKUT
Salah satu sikap yang harus kita miliki sebagai tanda cinta kepada Allah swt adalah rasa takut kepada-Nya. Takut kepada Allah bukanlah seperti kita takut kepada binatang buas yang menyebabkan kita harus menjauhinya, tapi takut kepada Allah Swt adalah takut kepada murka,
siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan murka, siksa dan azab Allah Swt
harus kita jauhi. Sedangkan Allah Swt sendiri harus kita dekati, inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Ada banyak ayat yang membicarakan tentang
takut kepada Allah dan perintah Allah kepada kita untuk memiliki sifat tersebut, satu diantara
ayat itu adalah firman Allah Swt: Orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seseorangpun selain kepada
Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan (QS. 33:39).
Adanya rasa takut kepada Allah Swt, membuat kita tidak berani melanggar segala ketentuan- Nya. Yang diperintah kita kerjakan dan yang dilarang kita tinggalkan. Sementara kalau seseorang telah melakukan kesalahan dan ada jenis hukuman dalam kesalahan itu, maka orang yang takut kepada Allah tidak perlu ditangkap dan diperiksa, tapi dia akan membeberkan sendiri kesalahannya itu lalu minta dihukum di dunia ini, sebab dia merasa lebih baik dihukum di dunia daripada di akhirat nanti yang lebih dahsyat. Takut kepada Allah memang membuat seseorang akan memperbanyak amal sholeh dalam hidup di dunia ini, Allah Swt berfirman: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (dihari itu) orang- orang bermuka masam penuh kesulitan (QS. 76:8-10).
6. RAJA’ (BERHARAP)
Cinta kepada Allah swt juga membuat seseorang selalu berharap kepada-Nya, yakni berharap mendapatkan rahmat, cinta, ridha dan perjumpaan dengan-Nya yang membuat ia akan selalu meneladani Rasulullah saw dalam kehidupannya di dunia ini, Allah swt berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah (QS 33:21).
7. TAAT.
Ketaatan kepada Allah merupakan sesuatu yang bersifat mutlak, karenanya manusia tidak bisa mencapai kemuliaan tanpa ketaatan, untuk itu jangan sampai manusia mendahului ketentuan
Allah Swt atau mengabaikan-Nya, Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 49:1).
Kunci kemuliaan seorang mukmin terletak pada ketaatannya kepada Allah dan rasul-Nya, karena
itu dengan sebab para sahabat ingin menjaga citra kemuliaanya, maka mereka contohkan kepada
kita ketaatan yang luar biasa kepada apa yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada
Rasul sama kedudukannya dengan taat kepada Allah, karena itu bila manusia tidak mau taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Rasulullah tidak akan pernah memberikan jaminan pemeliharaan dari azab dan siksa Allah Swt, di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman:
Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS 4:80). Manakala seorang muslim telah mencintai Allah swt, maka ia akan memperoleh kecintaan dari- Nya, ini akan membuatnya bisa menjalani kehidupan dengan baik
0 komentar:
Posting Komentar