BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pembahasan tentang Ilmu Pendidikan
tidak mungkin terbebas dari obyek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Oleh
karena itu, yang menjadi topic pembahasan sekarang adalah Ilmu Pendidikan
Islam, maka secara filosofis harus mengikutsertakan obyek utamanya, yaitu
manusia dalam pandangan Islam. Manusia adalah makhluk Allah. Ia dan alam
semesta bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah.
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan
yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat
berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagai suatu
usaha membentuk manuysia, harus memiliki landasan kemana kegiatan dan semua
perumusan tujuanb pendidikan Islam itu dikorelasikan. Landasan itu terdiri dari
Al-Quran dan As-sunnah.
Maka dari itu disini kami akan
mengupas mengenai peserta didik dalam ranah pendidikan Islam, beserta
manfaatnya bagi kehidupan peserta didik tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana konsep dasar serta hakikat pendidikan
Islam?
2. Apa yang menjadi tujuan serta sasaran
pendidikan Islam ?
3. Bagaimana penjelasan mendetail mengenai peserta didik dalam pendidikan Islam?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui
konsep dasar serta hakikat pendidikan Islam
2.
Mengetahui
tujuan serta sasaran pendidikan Islam
3.
Mengetahui
penjelasan mendetail mengenai peserta
didik dalam pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan dalam Islam
Secara umum dapat dikatakan bahwasanya
pendidikan Islam itu merupakan pembentukan kepribadian muslim.[1]
B. Tujuan
Pendidikan Islam
Tujuan ialah sesuatu yang
diharapkan tercapai setelah suatu kegiatan selesai dilaksanakan. Pendidikan
merupakan suatu upaya yang berproses melalui tahap-tahap serta
tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat, maka disini akan
dibahas mengenai beberapa tujuan pendidikan Islam, diantaranya:
1.
Tujuan
umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan
dicapai dengan semua kegiatan pendidikan. Tujuan itu meliputi semua aspek
kemanusiaan yaitu sikap, tingkah laku, penampilan,
kebiasaan dan pandangan. Metode yang paling efektif dan efisien dalam
mewujudkan tujuan pendidikan melalui pengajaran. Maka seharusnya pengajaran
agama mencapai tujuan pendidikan agama.
2.
Tujuan
Akhir
Tujuan akhir pendidikan Islam itu
dapat dipahami dalam firman Allah (Qs. Ali-Imran:102) :”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam”.
Jadi tujuan akhir proses pendidikan yaitu menjadi
insan kamil yang bertakwa kepada
Allah swt.
3.
Tujuan
Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai
setelah peserta didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan
dalam suatu kurikulum pendidikan formal.
4.
Tujuan
Operasional
Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang
akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Dalam tujuan
operasional ini lebih banyak dituntut dari anak didik suatu kemampuan dan
keterampilan tertentu. Sifat operasionalnya lebih ditonjolkan dari sifat
penghayatan dan keperibadian.[2]
- Hakikat Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan Islam adalah usaha
orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui
ajaran Islam kearah titik maksimal pertumbuhandan perkembangannya.
Kalangan ahli pendidikan berpendapat, secara pedagogis manusia dapat
disebut sebagai homo-educandum, makhluk yang dapat dididik. Melalui pendidikan
inilah manusia dapat dibentuk, dirubah dan dikembangkan kearah yang lebih baik.
Pendidikan berfungsi memanusiakan manusia yang sebenarnya. Pendidikan
seyogyanya berusaha untuk mengembangkan potensi manusia secara baik dan benar,
yaitu sesuai dengan fitrahnya. Fitrah manusia sebagai homo divinans (makhluk ber
Tuhan) dan makhluk religius (makhluk beragama).
- Sasaran pendidikan islam
Sejalan dengan misi pendidikan agama islam yang
bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan
islam menidentifikasikan sasaran yang yang digali dari sumber ajaran Al-quran,
meliputi empat pengembangan fungsi
manusia yaitu:
a. Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan
fungsinya di tengah makhluk lain, serta
tentang tanggung jawab dalam kehidupanya. Dengan kesadaran ini, manusia akan
mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk lainya
sehingga mampu berfungsi sebagai khalifah dim muka bumi ini, bahkan malaikat
pun pernah bersujub kepadanya. Firman
Allah dalam Al-quran surat Shad ayat 71-72:
71. (Ingatlah)
ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah".
72. Maka
apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungan dengan
masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban asyarakat itu. Oleh
karena itu manusia harus mengadakan interrelasi dan interaksi dengan sesamanya
dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia adalah homo sosius (makhluk sosial). Itulah sebabnya islam mengajarkan
tentang persamaan. Firman Allah dalam Al-quran dalam surat Al-Anbiya ayat
92.
c. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan
mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu manusia sebagai homo divinans (makhluk yang
berketuhanan), sikap dan watak religius
perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai
kehidupany. Pada hakikatnya dalam diri tiapa manusia telah diberi kemampuan
untuk beragama dan kemampuanya itu berada dalam fitrahnya yang alami. Oleh
karena itu seorang sarjana barat, C.G. Jung, memandang kemampuan beragama ini
sebagai Naturaliter religiosa (
naluri beragama). Firman
allah dalam Al-quran surat Al- An’am ayat 102-103.
102. (yang memiliki
sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain
Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara
segala sesuatu.
103. Dia tidak dapat dicapai
oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan
dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.
d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap
makhluk lain dan mebawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain,
seerta memberikan kemungkinankepada manusia untuk mengambil manfaatnya.
Dengan
kesadaran demikian, maka manusia sebagai khalifah di atas bumi dan terbabik di
antara makhlk lain, akan mendorong untuk elakukan pengelolaan, pada akhirnya,
kesejahteraan yang di peroleh tu
digunakan sebagai sarana untuk mencapai kebahagian hidup di akhirat, ukankan dunia ini bagaikan ladang untuk digarap
dan ditanami dengan tanaman yang
buahnyaberguna bbagi hidupnya di akhirat.
E. Peserta Didik dalam Pendidikan
Islam
a.
Pengertian Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu.
Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami
perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam
membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan.
Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami
fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun
fikiran.
Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik
tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju
kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang peserta didik berada
pada usia balita seorang selalu banyak mendapat bantuan dari orang tua ataupun
saudara yang lebih tua. Dengan demikina dapat di simpulkan bahwa peserta didik
merupakan barang mentah (raw material) yang harus diolah dan bentuk sehingga
menjadi suatu produk pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik
memiliki eksistensi atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya
sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses
ini peserta didik akan banyak sekali menerima bantuan yang mungkin tidak
disadarinya, sebagai contoh seorang peserta didik mendapatkan buku pelajaran
tertentu yang ia beli dari sebuah toko buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak
hal yang telah dilakukan orang lain dalam proses pembuatan dan pendistribusian
buku tersebut, mulai dari pengetikan, penyetakan, hingga penjualan.
Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam konteks kehadiran dan
keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah memberikan bantuan,
arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau kedewasaannya
sesuai dengan kedewasaannya. Dalam konteks ini seorang pendidik harus
mengetahuai ciri-ciri dari peserta didik tersebut.
- ciri – ciri peserta didik :
- kelemahan dan ketak berdayaannya
- berkemauan keras untuk berkembang
- ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan.[3]
- kriteria peserta didik :
Syamsul nizar
mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu :
1.
peserta didik bukanlah miniatur
orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri
2.
peserta didik memiliki
periodasi perkembangan dan pertumbuhan
3.
peserta didik adalah makhluk
Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan
maupun lingkungan dimana ia berada.
4.
peserta didik merupakan dua
unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur
rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu
5.
peserta didik adalah manusia
yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara
dinamisi.[4]
Didalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi adalah objek
atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara langsung berperan sebagai
subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai
dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut
seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan
membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu
mempertanggung jawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut.
Sehingga agar seorang pendidik mampu membentuk peserta didik yang berkepribadian
dan dapat mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang pendidik harus mampu
memahami peserta didik beserta segala karakteristiknya. Adapun hal-hal yang
harus dipahami adalah :
- kebutuhannya
- dimensi-dimensinya
- intelegensinya
- kepribadiannya.[5]
b. Kebutuhan-Kebutuhan
Peserta Didik
Pada sub
bab sebelumnya tengah disinggung bahwasannya untuk mendapatkan keberhasilan
dalam proses pendidikan maka seorang pendidik harus mampu memahami
karakteristik seorang peserta didik itu sendiri. Kemudian salah satu dari nya
adalah kebutuhan peserta didik.
Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh
peserta didik untuk mendapat kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut
wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut
buku yang ditulis oleh Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang
harus dipenuhi, yaitu :
- 1. Kebutuhan Fisik
Fisik seorang didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses
pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan :
- peserta didik pada usia 0 – 7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami masa kanak-kanak
- peserta didik pada usia 7 – 14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami masa sekolah yang didukung dengan peraihan pendidikan formal
- peserta didik pada 14 – 21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.[6]
Pada
masa perkembangan ini lah seorang pendidik perlu memperhatikan perubahan dan
perkembangan seorang didik. Karena pada usia ini seorang peserta didik
mengalami masa yang penuh dengan pengalaman (terutama pada masa pubertas) yang
secara tidak langsung akan membentuk kepribadian peserta didik itu sendiri.
Disamping memberikan memperhatikan hal tersebut, seorang pendidik harus selalu
memberikan bimbingan, arahan, serta dapat menuntun peserta didik kepada arah
kedewasaan yang pada akhirnya mampu menciptakan peserta didik yang dapat
mempertanggungjawabkan tentang ketentuan yang telah ia tentukan dalam
perjalanan hidupnya dalam lingkungan masyarakat.
- 2. Kebutuhan Sosial
Secara etimologi sosial adalah suatu lingkungan kehidupan. Pada hakekatnya kata
sosial selalu dikaitkan dengan lingkungan yang akan dilampaui oleh seorang peserta
didik dalam proses pendidikan.
Dengan demikian kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan lansung
dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat
lingkungannya, seperti yang diterima teman-temannya secara wajar. Begitu juga
supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya,
guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu dipenuhi agar peserta didik
dapat memperoleh posisi dan berprestasi dalam pendidikan.[7]
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial adalah digunakan untuk
memberi pengakuan pada seorang peserta didik yang pada hakekatnya adalah
seorang individu yang ingin diterima eksistensi atau keberadaannya dalam
lingkungan masyarakat sesuai dengan keberadaan dirinya itu sendiri.
Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal (Q.S. Al-Hujarat, 49:13)
- 3. Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status
Kebutuhan mendapatkan status adalah suatu yang dibutuhkan oleh peserta didik
untuk mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh
peserta didik terutama pada masa pubertas dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap
kemandirian, identitas serta menumbuhkan rasa kebanggaan diri dalam lingkungan
masyarakat.
Dalam proses memperoleh kebutuhan ini biasanya seorang peserta didik ingin
menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang
benar-benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah
lingkungan masyarakat.
- 4. Kebutuhan Mandiri
Ketika seorang peserta didik telah melewati masa
anak dan memasuki masa keremajaan, maka seorang peserta perlu mendapat sikap
pendidik yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk membentuk
kepribadian berdasarkan pengalaman. Hal ini disebabkan karena ketika peserta
telah menjadi seorang remaja, dia akan memiliki ambisi atau cita-cita yang
mulai ditampakkan dan terfikir oleh peserta didik, inilah yang akan menuntun
peserta didik untuk dapat memilih langkah yang dipilihnya.
Karena pembentukan kepribadian yang berdasarkan pengalaman itulah yang
menyebabkan para peserta didik harus dapat bersikap mandiri, mulai dari cara
pandang mereka akan masa depan hingga bagaimana ia dapat mencapai ambisi mereka
tersebut. Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk
menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta menghilangkan
rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik, karena ketika
seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat menghambat daya
kreatifitas dan kepercayaan diri untuk berkembang.
- 5. Kebutuhan Untuk Berprestasi
Untuk mendapatkan kebutuhan ini maka peserta didik
harus mampu mendapatkan kebutuhan mendapatkan status dan kebutuhan mandiri
terlebih dahulu. Karena kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan
kebutuhan berprestasi. Ketika peserta didik telah mendapatkan kedua kebutuhan
tersebut, maka secara langsung peserta didik akan mampu mendapatkan rasa
kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal ini lah yang akan menuntutnun
langkah peserta didik untuk mendapatkan prestasi.
- 6. Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai
Kebutuhan ini tergolong sangat penting bagi peserta
didik, karena kebutuhan ini sangatlah berpengaruh akan pembentukan mental dan
prestasi dari seorang peserta didik. Dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa
sikap kasih sayang dari orang tua akan sangat memberikan mitivasi kepada
peserta didik untuk mendapatkan prestasi, dibandingkan dengan dengan sikap yang
kaku dan pasif malah akan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan sikap
mental peserta didik. Di dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih
sayang paling indah adalah kasih sayang dari Allah. Oleh karena itu umat muslim
selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayang dan kenikmatan dari Allah.
Sehingga manusia tersebut mendapat jaminan hidup yang baik. Hal ini yang diharapkan
para pakar pendidikan akan pentingnya kasih sayang bagi peserta didik.
- 7. Kebutuhan Untuk Curhat
Ketika seorang
peserta didik menghadapi masa pubertas, meka seorang peserta didik tersebut
tengah mulai mendapatkan problema-probelama keremajaan. Kebutuhan untuk curhat
biasanya ditujukan untuk mengurangi beban masalah yang dia hadapi. Pada
hakekatnya ketika seorang yang tengah menglami masa pubertas membutuhkan
seorang yang dapat diajak berbagi atau curhat. Tindakan ini akan membuat
seorang peserta didik merasa bahwa apa yang dia rasakan dapat dirasakan oleh
orang lain. Namun ketika dia tidak memiliki kesempatan untuk berbagi atau
curhat masalahnya dengan orang lain, ini akan membentuk sikap tidak
percayadiri, merasa dilecehkan, beban masalah yang makin menumpuk yang
kesemuanya itu akan memacu emosi seorang peserta didik untuk melakukan hal-hal
yang berjalan ke arah keburukan atau negatif.
- 8. Kebutuhan Untuk Memiliki Filsafat Hidup
Pada
hakekatnya seetiap manusia telah memiliki filsafat walaupun terkadang ia tidak
menyadarinya. Begitu juga dengan peserta didik ia memiliki ide, keindahan,
pemikiran, kehidupan, tuhan, rasa benar, salah, berani, takut. Perasaan itulah
yang dimaksud dengan filsafat hidup yang dimiliki manusia.
Karena terkadang seorang peseta didik tidak menyadair akan adanya ikatan
filsafat pada dirinya, maka terkadang seorang peserta didik tidak menyadari
bagaimana dia bisa mendapatkannya dan bagaimana caranya. Filsafat hidup sangat
erat kaitannya dengan agama, karena agama lah yang akan membimbing manuasia
untuk mendapatkan dan mengetahui apa sebenarnya tujuan dari filsafat hidup.
Sehingga tidak seorangpun yang tidak membutuhkan agama.
Agama adalah fitrah yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan manusia, sehingga
tatkala seorang peserta didik mengalami masa kanak-kanak, ia telah memiliki
rasa iman. Namun rasa iman ini akan berubah seiring dengan perkembangan usia
peserta didik. Ketika seorang peserta didik keluar dari masa kanak-kanak, maka
iman tersebut akan berkembang, ia mulai berfikir siapa yang menciptakan saya,
siapa yang dapat melindungi saya, siapa yang dapat memberikan perlinfungan
kepada saya. Namun iman ini dapat menurun tergantung bagaiman ia beribadah.
Pendidikan agana disamping memperhatikan kebutuhan-kebutuhan biologis dan
psikologis ataupun kebutuhan primer maupun skunder, maka penekanannya adalah
pemenuhan kebutuhan anak didik terhadap agama karena ajaran agama yang sudah
dihayati, diyakini, dan diamalkan oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh
aspek kehidupannya.[8]
Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (manusia)
kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (Q.S. Saba 34:6).
F.
Dimensi – Dimensi Peserta Didik
Pada hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh peserta
didik untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di
masa yang akan datang (kedewasaan).
Widodo Supriyono, dalam bukunya yang berjudul Filsafat manusia dalam Islam,
secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani.
Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai potensi
kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam
bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau merenung,
memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil
pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai
tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir keduania dengan membawa
fitrah.[9]
Didalam Sub Bab ini penulis hanya akan membahas 7 dimensi saja. Adapun
ketujuh dimensi tersebut ialah : dimensi fisik, dimensi akal, dimensi keberagamaannya,
dimensi akhlak, dimensi rohani, dimensi seni, dan dimensi sosial.
1. Dimensi Fisik
(Jasmani)
Fisik manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abaiotik.
Manusia sebagai peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan
makhluk lain seperti hewan. Namun yang membedakan adalah manusia lebih sempurna
dari hewan, hal ini dikarenakan manuasia memiliki nafsu yang dibentengi oleh
akal sedangkan hewan hanya memiliki nafsu dan insthink bukanya akal.
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. Attin :4).
Antara manusia dan hewan jiak dilihat susunan penciptaan secara abiotik dan
biotik manusia dan hewan memiliki proses penciptaan dan struktur yang sama,
yaitu tercipta dari inti sari tanah, air,api, dan udara. Dari keempat elemen
abiotik itu oleh Allah SWT diciptakanlah makhluk yang didalamnya diberikan
sebuah energi kehidupan yang berupa ruh.
Ramayulis, dalam bukunya ia mengambil pendapat Alghazali yang menyatakan bahwa
daya hidup yang berupa ruh ini merupakan vitalitas kehidupan yang sangat
bergantung pada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat
pencernaan, susunan saraf, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut,
dan sebagainya.[10]
2. Dimensi Akal
Ramayulis dalam bukunya ia mengambil pendapat al –
Ishfahami yang membagi akal menjadi dua macam yaitu :
1.
Aql Al-Mathhu’ : yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah SWT sebagai fitrah
Illahi.
2.
Aql al-masmu : yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang
dapat dikembangkan oleh manusia[11]Akal
ini tidak dapat dilepaskan dari diri manusia, karena digunakan untuk
menggerakkan akal mathhu untuk tetap berada di jalan Allah.
Akal
memiliki fungsi sebagai berikut :
1.
Akal adalah penahan nafsu.
2.
Akal adalah pengertian dan
pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi. sesuatu baik yang nampak jelas
maupun yang tidak jelas.
3.
Akal adalah petunjuk yang
membedakan hidayah dan kesesatan.
4.
Akal adalah kesadaran batin dan
pengaturan.
5.
Adalah pandangan batin yang
berpandangan tembus melebihi penglihatan mata
6.
Akal adalah daya ingat
mengambil dari masa lampau untuk masa yang akan dihadapi.[12]
Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan bantuan qolb
(hati) agar dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan,
mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah
potensi dasar manusia yang ada pada diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu
mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang kearah yang
positif.
3. Dimensi Keberagaman
Manusia sejak lahir kedunia telah menerima kodrat
sebagai homodivinous atau homo religius yaitu makhluk yang
percaya akan adanya tuhan atau makhluk yang beragama. Dalam agama islam diyakini
bahwa pada saat janin manusia berada dalam kandungan seorang ibu, dan ketika
ditiupkan nyawa kedalam janin tersebut oleh sang kholiq, maka janin mengatakan
bahwa aku akan beriman kepada-Mu (Allah). Dari sinilah manusia mempunyai fitrah
sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan akan adanya tuhan sejak lahir. Dalam
Ayat Al-qur’an ditegaskan :
Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini
Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”.
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)” (Al – A’raf : 172)
Berkaitan dengan adanya kepercayaan akan adanya tuhan, ilsam memiliki tiga
implikasi dasar pada diri manusia yang didasarkan dari adanya satu kesamaan
dari jutaan perbedaan yang terdapat diri manusia, yaitu :
1.
impikasi yang berkaitan dengan
pendidikan di masa depan, dimana fitrah dikembangkan seoptimal mungkin dengan
tidak mendikotomikan materi
2.
tujuan (ultimate goal)
pendidikan, yaitu insan kamil yang akan berhasil jika manusia menjalankan
tugasnya sebagi abdullah dan kholifah
3.
muatan materi dan metodologi
pendidikan, diadakan spesialisasi dengan metode integralistik dan
disesuaikan dengan fitrah manusia.[13]
4. Dimensi Akhlak
Kata
akhlak dalam pendidikan islam adalah seuatu yang sangat diutamakan. Dalam islam
akhlak sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa
akhlak tidak dapat lepas dari pendidikan agama.
Akhlak menurut pengertian islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat,
karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul
akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam islam bersumber pada iman dan taqwa dan
mempunyai tujuan langsung yaitu keridhoan dari Allah SWT.
Akhlak dalam islam memiliki tujuh ciri, yaitu :
1.
bersifat menyeluruh atau
universal
2.
menghargai tabiat manusia yang
terdiri dari berbagai dimensi
3.
bersifat sederhana atau tidak
berlebih-lebihan
4.
realistis, sesuai dengan akal
dan kemampuan manusia
5.
kemudahan, manusia tidak diberi
beban yang melebihi kemampuannya
6.
mengikat kepercayaan dengan
amal, perkataan, perbuatan, teori, dan praktek
7.
tetap dalam dasar-dasar dan
prinsip-prisnsip akhlak umum.[14]
Pendidikan akhlak mulai diberikan sejak manusia lahir kedunia, dengan tujuan
untuk membentuk manusia yang bermoral baik, berkemauan keras, bijaksana,
sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci. Namun perlu disadari
bahwasannya pendidikan akhlak akan dapat terbentuk dari adanya pengalaman pada
diri peserta didik.
5. Dimensi Rohani
(Kejiwaan)
Tidak jauh berbeda dengan dimensi akhlak, dimensi
rohani dalah adalah dimensi yang sangat penting dan harus ada pada peserta
didik. Hal ini dikarenakan rohani (kejiwaan) harus dapat mengendalikan keadaan
manusia untuk hidu bahagia, sehat, merasa aman dan tenteram. Penciptaan manusia
tidak akan sempurna debelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya. Allah
SWT berfirman :
Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud
(Al – hijr : 29).
Menurut Al- Ghazali ruh terbagi menjadi dua bentuk, yaitu al – ruh dan al-
nafs. Al-ruh adalah daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri,
tuhan, dan mencapai ilmu pengetahuan, sehingga dapat menentukan manusia
berkepribadian, berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak
bagi manusia untuk menjalankan perintah Allah. Al-nafs adalah pembeda
dengan makhluk lainnya dengan kata lain pembeda tingkatan manusia dengan
makhluk lain yang sama-sama memiliki al-nafs seperti halnya hewan
dan tumbuhan.[15]
Menurut pendapat Al-Syari’ati ruh adalah bersifat dinamis, sehingga dengan
sifat yang dinamis itu, memungkinkan manusia untuk mencapai derajat yang
setinggi-tingginya. Atau malah akan menjerumuskannya dari pada derajat yang
serendah-rendahnya. Hal ini dikarenakan manusia yang memiliki kebebasan untuk
mendekatkan diri ke arah kutub rab nya atau malah kearah kutub tanah. Dengan
demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa ruh manusia dapat berkembang
ketaraf yang lebih tinggi apabila bergerak kearah ruh illahinya.
6. Dimensi Seni
(Keindahan)
Seni merupakan salah satu potensi rohani yang
terdapat pada diri manusia. Sehingga senia dalam diri manusia harus lah
dikembangkan. seni dalam diri manusia merupakan sarana untuk mencapai tujuan
hidup. Namun tujuan utama seni pada diri manusia adalah untuk beribadah kepada
Allah dan menajalankan fungsi kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan
spiritual yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.
Dalam agama islam Allah telah menghadirkan dimensi seni ini didalam Al-Qur’an.
Kitab suci Al-qur’an memiliki kandungan nilai seni yang sangat mulia nan indah.
Hal ini karena A-lqur’an adalah ekspresi dari Allah SWT untuk memberikan
kebijakan dan pengetahuan kepada seluruh semesta Alam. Sehingga kesastraan yang
terdapat di dalam Al-Qur’an benar-benar menunjukkan kehadiran Illahi didalam
mu’jizat yang bersifat universal ini. Allah SWT berfirman :
“Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya,
ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke
tempat penggembalaan” (QS. An-nahl : 6)
Keindahan selalu berkaitan dengan adanya keimanan pada diri manusia. Semakin
tinggi iman yang dimiliki oleh manusia maka dia akan makin dapat merasakan
keindahan akan segala sesuatu yang di ciptakan oleh tuhannya.
7. Dimensi Sosial
Dimensi sosial bagi manusia sangat erat kaitannya
dengan sebuah golongan, kelompok, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan
terkecil dalam dimensi sosial adalah keluarga, yang berperan sebagai sumber
utama peserta didik untuk membentuk kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial
dimaksudkan agar manusia mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya
diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat pribadi namun perbuatan yang
bersifat umum.
Dalam dimensi sosial seorang peserta didik harus mampu menjalin ikatan yang
dinamis antara keperntingan pribadi dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial
yang kuat akan mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain, menolong
sesama serta menunjukkan cermin keimanan kepada Allah SWT. Nabi SAW
bersabda :
Demi allah tidak
beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, orang yang tidur
kekenyangan, sedangkan tangannya kelaparan, padahal ia mengetahuinya.
G.
Tingkat Intelegensi Peserta Didik
Secara bahasa Integensi dapat diartikan dengan kecerdasan, pemahaman,
kecepatan, kesempurnaan sesuatu atau kemampuan. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indoneseia (KBBI) intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan
keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuan dan
kecerdasannya.
Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa intelegensi peserta didik adalah
kecerdasan yang dimiliki peserta didik yang digunakan untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan yang baru ataupun memahami sesuatu yang baru berdasarkan tingkat
kecerdasan dan tujuan. Sehingga intelegensi atau kecerdasan dalam pendidikan
islam dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
1.
kecerdasan intelektual
2.
kecerdasan emosional
3.
kecerdasan spiritual
4.
Kecerdasan Qalbiyah.
1. Kecerdasan
Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan pengambangan
tingkat kemampuan dan kecerdasan otak, logika atau IQ. Ramayulis dalam bukunya
menyatakan, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan
otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara
fungsional dengan yang lain.[16]
Kecerdasan intelektual pada diri manusia sangat erat kaitannya dengan proses
berfikir atau kecerdasan fikiran yang disebut dengan aspek kognitif. Dalam
aspek ini manusia dipaksa untuk dapat mempertimbangkan sesuatu, memecahkan atau
memutuskan sesuatu masalah dengan menggunakan fikiran yang logis (logika).
Menurut
pengantar pendidikan anak luar biasa yang disusun oleh Sam Isbani, mengatakan
bahwa tingkat intelegensi peserta didik dapat diklasifikasikan sebagai berikut
:
v
berkelainan sosial
v
berkelainan jasmani
v
berkelainan mental
v
anak nakal/ delinquen
v
anak yang menyendiri, menjauhkan
diri dari masyarakat
v
anak timpang
v
anak berkelainan penglihatan
v
anak berkelainan pendengaran
v
anak berkelainan bicara
v
anak kerdil
v
tingkat kecerdasan rendah
v
tingkat kecerdasan tinggi.[17]
2. Kecerdasan
Emosional
Menurut Daniel Gomelen, kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk
memotovasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan
hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga akan
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.[18]
Secara umum kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual saling berkaitan
satu sama lain. Jika kecerdasan intelektual yang dihasilkan otak kiri digunakan
untuk berfikir atau memecahkan suatu masalah, maka kecerdasan emosional yang
dihasilkan oleh otak kanan digunakan untuk memberikan motivasi, mendorong
kemauan dan mengendalikan dorongan hati. Sehingga dengan adanya kecerdasan
dalam diri peserta didik, peserta didik akan mampu memotivasi dirinya sendiri
untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif, bahkan diharapakan dengan
adanya kecerdasan ini seorang peserta didik mampu untuk menghilangkan rasa
malas yang timbul pada dirinya.
Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang
berhubungan dengan kecerdasan emosional, sebagai berikut :
- Konsistensi (istiqamah)
- Kerendahan hati (tawadhu’)
- Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
- Ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah)
- Keseimbangan (tawazun)
- Integritas dan penyempurnaan (ihsan)
Didalam
islam hal tersebut disebut dengan akhlaq al karimah.[19]
Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan seseorang dari keinginan-keinginan,
yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengarahkan seseorang untuk melakukan
hal-hal yang posistif.
Solovery menerangkan
tentang ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai berikut :
1.
respon yang cepat namun ceroboh
2.
mendahulukan perasaan daripada
fikiran
3.
realitas simbolik yang seperti
anak-anak
4.
masa lampau diposisikan sebagai
masa sekarang
5.
realitas yang ditentukan oleh
keadaan.[20]
Berdasarkan
ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional yang bekerja
secara acak tanpa pemikiran yang logis. Apabila tidak didampingi oleh pemikiran
yang bersifat logis (Kecerdasan Intelektual) dikhawatirkan malah akan mendorong
peserta didik untuk melakukan hal-hal yang negatif atau melakukan sesuatu yang
monoton (tidak berkembang).
3. Kecerdasan
Spiritual
Secara
etimologi spritual berarti yang berkehidupan atau sifat hidup. Kecerdasan
spiritula pada diri manusia berorientasi pada dua hal, yakni berorientasi
kepada hal yang bersifat duniawi dan agama.
Ketika seseorang mengorirntasikan kecerdasan spiritual kedalam sesuatu yang
bersifat duniawai, maka yang hadir dalam dirinya adalah bagaimana ia dapat
memaknai hidup dan mengelola nilai-nilai kehidupan. Bukan untuk menentukan atau
memilih keyakinan dan kepercayaan akan suatu agama.
Disisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan spiritual
adalah pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya menjadi
ma’rifat kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat tersebut, maka
manusia secara langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri sekaligus mengenal
tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat kecerdasan yang
paling tinggi.
Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Bersikap asertif, memiliki
keyakinan yang tinggi dan pemahaman yang sempurna tentang ke-Esaan Tuhan,
sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
2.
Berusaha mengadakan inovasi,
selalu berusaha mencari hal baru untuk kemajuan hidup dan menghasilkan sesuatu
yang lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
3.
Berfikit lateral, berfikir akan
adanya sesuatu yang lebih tinggi dari semua keunggulan manusia. Hal ini
ditandai dengan adanya perenungan dan pemikiran akan adanya sifat maha yang
dimiliki oleh sang pencipta alam sehingga membuat manusia tersentuh perasaan
dan mampu menanamkan sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati bergetar ketika
dapat merasakan sifat kemahaan tersebut.
Dalam islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan peningkatan iman
yang merupakan sumber ketenangan batin dan keseleamatan, serta melakukan ibadah
yang dapat membersihkan jiwa seseorang.
4. Kecerdasan Qalbiyah
Secara
etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang berarti hati. Dalam pengertian
istilah kecerdasan qalbiyah berarti kemampuan manusia untuk memahami kalbu
dengan sempurna dan mengungkapkan isi hati dengan sempurna sehingga dapat
menjalin hubungan moralitas yang sempurna antara manusia dan ubudiyah.
Kecerdasan kalbu pada diri manusia yang sempurna akan menghandirkan kecerdasan
agama dalam dirinya. Kecerdasan agama adalah tingkat kecerdasan yang lebih
tinggi dari kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang telah mencapai kecerdasan
agama maka secara langsung seorang tersebut akan memiliki kecerdasan yang
melampaui kecerdasan intelktula, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spiritual.
Ramayulis dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama kecerdasan qalbiyah adalah
:
1.
respon yang intuitif ilabiab
2.
lebih mendahulukan nilai-nilai
ketuhanan dari pada nilai-nilai kemanusiaan
3.
realitas subyektif diposiskan
sama kuatnya posisinya, atau lebih tinggi dengan realitas obyektif
4.
didapat dengan pendekatan
penerapan spiritual keagamaan dan pensucian diri.[21]
H.
Etika Peserta Didik
Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan.
Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis,
menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :
1.
Bersikap tawadhu’ (rendah hati)
dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
2.
Menjaga pikiran dan
pertantangan yang timbul dari berbagai aliran
3.
Mempelajari ilmu – ilmu yang
terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi.
4.
Belajar dengan bertahap dengan
cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
5.
Belajar ilmu sampai tuntas
untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik
memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
6.
Mengenal nilai-nilai ilmiah
atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
7.
Memprioritaskan ilmu diniyah
sebelum memasuki ilmu duniaw
Agar
peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka
peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu :
1.
Peserta didik hendaknya
senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
2.
Tujuan belajar hendaknya
ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan.
3.
Memiliki kemauan yang kuat
untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
4.
Setiap peserta didik wajib
menghormati pendidiknya.
5.
Peserta didik hendaknya belajar
secara sungguh-sungguh dan tabah.[22]
Namun
etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta
didik dalam menuntut ilmu, yaitu :
1.
Peserta didik harus
membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu,
sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih.
2.
Peserta didik harus mempunyai
tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan,
mendekatkan diri kepada Allah.
3.
Seorang peserta didik harus
tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan
dan cobaan yang datang.
4.
Seorang harus ikhlas dalam
menuntut ilmu dengan menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh
kerelaan dari guru dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.[23]
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan uraian tentang peserta didik dalam pendidikan islam
dalam bab sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
· Tujuan ialah sesuatu yang diharapkan tercapai
setelah suatu kegiatan selesai dilaksanakan. Pendidikan merupakan suatu upaya
yang berproses melalui tahap-tahap serta tingkatan-tingkatan, tujuannya
bertahap dan bertingkat, maka disini akan dibahas mengenai beberapa tujuan
pendidikan Islam, diantaranya:
· Hakikat pendidikan Islam adalah usaha
orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui
ajaran Islam kearah titik maksimal pertumbuhandan perkembangannya.
· Peserta didik adalah individu yang mengalami perkembangan dan
perubahan, sehingga ia harus mendapatkan bimbingan dan arahan untuk membentuk
sikap moral dan kepribadian.
· Kebutuhan peserta didik yang berupa kebutuhan fisik, sosial,
mendapatkan status, mandiri, berprestasi, ingin disayangi dan dicintai, curhat,
dan mendapatkan filsafat hidup harus dipenuhi oleh pendidik untuk menunjang
perkembangan dan pembentukan sikap moral peserta didik sebagai insan kamil.
· Peserta didik memiliki beberapa dimensi
penting yang mempengaruhi akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus
diperhatikan secara baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta didik yang
berakhlak mulia dan dapat disebut sebagai insan kamil.
· Peserta didik akan melampaui kecerdasan
intelektual, emosional, dan spiritual ketika ia telah mencapai tingkatan ilmu
yang melibihi tingkatan kecerdasan qalbiyah, yaitu kecerdasan agama.
· Etika peserta didik dalam proses pendidikan islam sangatlah berperan
penting dalam proses perkembangan dan pencapaian peserta didik sebagai insan
kamil.
Daftar
Pustaka
Ahmadi, Abu dkk. 2006. Ilmu Pendidikan Cetakan ke II. Jakarta: PT Rineka
Cipta...
Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Supriono, Widodo. 1996.Filsafat Manusia dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Vandha. 2008. Pendidikan Islam dan Sumber Daya Manusia.
Jakarta.
[3]Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu
Pendidikan Cetakan ke II, PT Rineka Cipta, Jakarta,
2006, Hal 40
[4] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam
Mulia, Jakarta, 2006, Hal. 77
[5]Ramayulis, Op.cit. Hal. 78
[6] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Cop.cit,
Hal. 42
[7] Ramayulis, Cop.cit, Hal. 78
[8] Ramayulis, Op.cit. Hal. 81
[9] Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam
Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996,
Hal. 171
[10] Ramayulis, Op.cit., Hal. 83
[11] Ramayulis, Op.cit., Hal. 85
[12] Ibid., Hal. 86
[13] Ramayulis,Op.cit., hal 88
[14] Ibid., hal 89 – 90
[15] Al-Ghazali, Mi’raj as-Salikhin, al-saqafat
al-islamiyat, kairo, 1994, Hal. 16
[17] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati,
Op.cit, Hal. 46
[18] Daniel Golmen, Kecerdasan Emosional Edisi
Terjemahan Cetakan Ke 9 Gramediya, Jakarta, 1999, Hal. 45
[19] Ari Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual
Quotient : Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta, 2001,
Hal. 199
[20] Ramayulis, Op.cit., Hal 103
[21] Ramayulis, Op.cit., Hal. 110
[22] Ramayulis, Op.cit. Hal 119
[23] Ibid, Hal 120
0 komentar:
Posting Komentar