A. Pengertian Standar Nasional Pendidikan (SNP)
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 bab 1 pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, setiap lembaga pendidikan dituntut untuk memenuhi kriteria minimum yang telah ditentukan. Guna tercapainya tujuan pemerataan pendidikan di wilayah hukum Negara Kesatuan republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan, haruslah ada yang menjamin dan mengendalikan mutu pendidikan sehingga sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal ini pemerintah melakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga proses ini dilaksanakan untuk menentukan layak tidaknya lembaga pendidikan yang berstandar nasional.
Standar Nasional Pendidikan bertujuan bukan hanya untuk memeratakan standar mutu pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesi, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan perubahan lokal, nasional dan, global. Dikarenakan mutu pendidikan di Indonesia telah jauh tertinggal dari negara ASEAN yang lain, maka peningkatan-peningkatan di segi pendidikan akan terus terjadi. Sehingga mutu pendidikan di Indonesia bisa bersaing dengan negara lain.
B. Lingkup Standar Nasional Pendidikan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, ada delapan standar yang menjadi sorotan dalam melaksanaan Standar Nasional Pendidikan.
1. Standar Isi
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Setiap jenjang memiliki kompetensi yang berbeda, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Dan dalam standar isi termuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik, yang berguna untuk pedoman pelaksanan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
2. Standar Proses
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
Proses pembelajaran seharusnya dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Hal tersebut sangatlah membantu dalam pekembangan akal dan mental peserta didik.
3. Standar Kompetensi Lulusan
Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Setiap jenjang pendidikan memiliki kompetisi dasar yang berberda. Mulai dari pendidikan dasar yang hanya bertujuan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Sampai ke jenjang petguruan tinggi yang bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar pendidik dan kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi para pendidik diantarnya :
a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
b) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c) sertifikat profesi guru untuk jenjang yang dia geluti.
5. Standar Sarana dan Prasarana
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Setiap lembaga pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana yang telah ditentukan. Ada pun sarana tersebut antara lain meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Sedangkan prasarananya antara lain lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
6. Standar Pengelolaan
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
(1) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
(2) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong kemandirian dalam pengelolaan akademik, operasional, personalia, keuangan, dan area fungsional kepengelolaan lainnya yang diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.
(3) Pada satuan pendidikan SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat kepala satuan pendidikan dalam melaksanakan tugasnya dibantu minimal oleh tiga wakil kepala satuan pendidikan yang masing-masing secara berturut-turut membidangi akademik, sarana dan prasarana, serta kesiswaan. (1) Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang:
a. Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus;
b. Kalender pendidikan/akademik, yang menunjukkan seluruh kategori aktivitas satuan pendidikan selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan, dan mingguan;
c. Struktur organisasi satuan pendidikan;
d. Pembagian tugas di antara pendidik;
e. Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan;
f. Peraturan akademik;
g. Tata tertib satuan pendidikan, yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana;
h. Kode etik hubungan antara sesama warga di dalam lingkungan satuan pendidikan dan hubungan antara warga satuan pendidikan dengan masyarakat;
i. Biaya operasional satuan pendidikan.
7. Standar Pembiayaan
Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
(2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
(3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
(4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan c. biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
(5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP. Yang termasuk biaya personal peserta didik antara lain pakaian, transpor, buku pribadi, konsumsi, akomodasi, dan biaya pribadi lainnya.
8. Standar Penilaian Pendidikan
Standar penilaian pendidik adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.Penilaian dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
C. Pro dan Kontra Standar Nasional Pendidikan (SNP)
Seiring dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka terjadilah perubahan sistem pendidikan nasional guna mencapai standar minimum yang telah ditentukan pemerintah. Di samping itu terjadi penolakan Standar Nasional Pendidikan. Adapun beberapa alasan yang menyebabkan belum layaknya Standar Nasional Pendidikan antara lain:
1.Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Merata di Setiap Daerah
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pertumbuhan ekonomi berandil besar dalam perkembangan aspek kehidupan lain, tidak terkecuali pendidikan. Namun sayangnya terkadang daerah yang memiki hasil alam tinggi perkembangan pendidikannya tidak seperti yang diharapkan. Walaupun sudah dikeluarkan UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah (OTDA), tapi tetap saja pembangunan di bidang pendidikan masih tidak menentu. Dikarenakan sifat pemerintah pusat yang masih setengan-setengah memberikan wewenang untuk mengurusi pendidikan di daerah.
Drs. Murip Yahya M.Pd. dalam bukunya, Pengantar Pendidikan (2009) bab Otonomi Daearah Dan Pendidikan, poin D halaman 80 mengatakan bahwa pada dasarnya otonomi daerah memberikan peluang kepada pengelola pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Seperti :
1. Merumuskan tujuan institusi yang mengacu pada tujuan nasional
2. Merumuskan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat suatu daerah
3.Menciptakan situasi belajar dan mengajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan.
4. Mengembangkan sistem evaluasi yang tepat dan akurat, baik dari prestasi siswa maupun penyelenggaraan.
2. Sarana Fisik Yang Kurang Memadai
Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang keadaan gedungnya sudah tidak layak, kepemilikan dan penggunaan media belajarrendah, kurang lengkapnya koleksi buku perpustakaan. Pemakain teknologi informasi yang kurang memadai dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan presentase yang tidak sama.
Apa yang terjadi di Pulau Jawa masih sangat beruntung dibanding dengan apa yang terjadi di pulau lainnya, seperti Papua. Pengadaan sarana dan prasarana yang tidak sesuai kebutuhan mengakibatkan lambatnya peningkatan mutu pendidikan. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan daerah tertinggal (desa) daripada mengurusi pendidikan di daerah maju (kota) yang jelas-jelas lebih bisa dipantau. Hal ini akan lebih memudahkan pemerintah dalam mensukseskan program pemerataan pendidikan yang berpaku pada Standar Nasional Pendidikan (SNP).
3. Lemahnya Mental Bangsa Indonesia
Direktur Rumah Belajar Cinta Anak Bangsa (RBCAB) Firza Imam Putra, dalam artikel di Kompas edisi kamis 17 desember 2009 menyatakan bahwa lebih dari 1,1 juta anak memilih berhenti belajar di sekolah selama tahun 2007. Artinya, setiap menit ada 4 anak putus sekolah di Indonesia. Salah satu faktor yang memengaruhi tingginya angka putus sekolah itu adalah dorongan orangtua dari keluarga tidak mampu. Anak kemudian dikondisikan untuk mencari uang dan menambah penghasilan keluarga.
Masalah besar lainnya adalah kontrofersi diadakannya Ujian Nasional (UN). Adalah Erin Driani, seorang pengamat pendidikan yang banyak menyoroti berbagai persoalan hak anak atas pendidikan, dalam artikel yang berjudul ”Presuden Perlu Ikut Tuntaskan Persoalan UN” di surat kabar Sriwijaya Post edisi kamis, 10 desember 2009 mengatakan bahwa Presiden RI SBY sudah selayaknya mengambil tindakan terhadap persoalan UN. M. Yunana Yusuf (Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan), Buletin BSNP Vol II/ No. 1/ Januari 2007 halaman 3, Untuk tahun pelajaran 2006/2007 ini, peserta UN diperkirakan berjumlah 4.701.000 orang, dengan perincian peserta SMP/MTs dan SMPLB 2.501.300 orang dan peserta SMA/MA/SMALB dan SMK 2.200.700 orang. Sementara luas kawasan penyelenggaraannya meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu sebabnya penyelenggaraan UN sungguh-sungguh merupakan satu pekerjaan raksasa dengan menghabiskan dana Rp 244 miliar yang didekonsentrasikan ke dinas provinsi, kabupaten/kota serta sekolah/madrasah penyelenggara UN.