Pages

Kamis, 21 Juni 2012

Cara Menjadikan Flashdisk menjadi RAM di windows 7

Apakah anda merasa komputer/laptop anda lemot? Ketika kita dituntut umtuk mengerjakan sesuatu dikomputer lebih cepat, misalnya ada tugas dari Bu Shinta untuk membuat presentasi dan dikumpulin besok. Hadoh .. . . sedangkan anda belum mengerjakan apa-apa. Hahahah. Mati dah lu ditambah laptopnya lemot gak bisa diajak kerja cepet. Hmmm, biasanya sih yang kayak gitu laptopnya yang spesifikasinya rendah alias harganya murah :P (seperti Lapto saya ini T.T). Tapi gak papa semua ada solusinya.

                Windows 7 kini hadir dengan memberi layanan yang dinamakan ReadyBost, yaitu menjadikan flashdisk sebagai tempat penyimpanan memori sementara (cache). Sehingga menjadikan peforma komputer lumayan meningkat. Baiklah pemirsa dari pada laptonya semakin lemot aja gara-gara kelamaan baca mari langsung menuju ke TKP.

Pertama-tama tentu saja anda tancapkan flashdisk pada lubangnya. oh yeah. . . .hehehe kemudian ikuti langkah-langkah berikut:

1. Klik kanan pada flashdisk anda kemudian pilih propeties




















2. Pilih pada tab ReadyBoost

3. Kemudian klik pada bagian "use this device"


4. Atur besar memori yang akan digunakan sebagai cache. Lalu klik "OK"

        Ketika flashdisk anda digunakan sebagai readyboost, kapasitas flasdisk anda akan berkurang sebesar memori yang anda atur tadi. Trus gimana dong kalo kita pengen flashdisknya balik lagi? Tenang.... cukup anda kembalikan seperti keadaan semula. Ulangi langkah-langkah yang saya jelaskan tadi kemudian pada menu ReadyBoost kembalikan lagi menjadi berikut





            Cukup sekian postingan saya kali ini. Semoga bermanfaat dan terima kasih atas kunjungan anda. Tunggu postingan saya berikutnya . . ..  :D

Cara Download Video Di Youtube

Beberapa bulan yang lalu sempat bingung Aku waktu pengen download video di youtube. Padahal aku pengen banget download video yang ntu. Nah tanpa sengaja aku menemukan 2 cara mendownloadnya. Aku akan berbagi pada blogger caranya:


1.  Dengan menggunakan IDM

pada Postingan saya yang kemarin bisa anda baca download aplikasinya di postingan kemaren.
cara mendownload video youtube via IDM sangat mudah, install IDM. Kemudian buka youtube, search video yang ingin anda download


Klik download this video



kemudian video kamu udah dalam proses download
nah tunggu hingga proses download selesai

2.  Menggunakan keepvid (wajib memiliki java)

buka http://keepvid.com kemudian isi kolom dengan alamat youtube yang sedang anda putar

stelah itu klik download.
maka akan muncul notifikasi sebagai berikut


Klik run maka proses load file akan berjalan
stelah itu pilih file sesuai keinginan anda yang besar atau yang kecil ukurannya (ukuran bergantuk resolusi video)

selamat mencoba

Sabtu, 16 Juni 2012

Problem Sosial dan Tri Pusat Pendidikan


PROBLEM SOSIAL DAN TRI PUSAT PENDIDIKAN
Oleh :
Made Wiryana

Taufiqurrahman Noer Muslim
I. PENDAHULUAN
Problem sosial seperi premanisme, pejudian dan minuman keras akhir-akhir ini semakin menampakkan kecenderungan meningkat. Tidak perlu beranjak jauh untuk melihat hal itu, disetiap ujung jalan, kampung dan kelurahan pemandangan menyesakkan seperti itu terlampau sering dijumpai. Siapakah yang harus memperbaiki hal seperti ini, apakah akan dibiarkan selamanya seperti itu? Sudah adakah usaha pemerintah atau masyarakat untuk menyelesaikan problem sosial tersebut? Sangat sedikit sensitifitas sosial yang muncul untuk menperhatikan premanisme, perjudian dan minuman keras, yang terjadi adalah membiarkan hal seperti itu terjadi. Masyarakat seakan mensyahkan hal tersebut, tidak ambil perduli bahkan jarang terlihat orang tua menasehati anaknya yang terjerumus dalam problem tersebut bahkan mungkin orang tua pun ikut-ikutan terjerumus.
Jika kita berjalan-jalan ke beberapa kampung di dalam kota, kita merasakan realitas yang terjadi di masyarakat bawah. Banyak sekali dapat dilihat kejadian yang menunjukkan masyarakat kita sedang sakit dan menghadapi problem sosial. Minuman keras dan perjudian sudah hampir setiap hari mereka nikmati, premanisme muncul di sudut-sudut pasar bahkan sering terlihat langsung tanpa sembunyi-sembunyi, tak ada usaha apapun untuk menghentikannya dan masyarakat semakin tidak peduli.
Premanisme, perjudian dan minuman keras adalah problem sosial yang akan menjadikan anak-anak bangsa kita mengalami kesuraman, hal inilah mendasari mengapa problem tersebut harus segera dicarikan penyelesaiannya. Problem sosial ini sangat rentan sekali menimbulkan tindak kriminalitas yang mengancam keselamatan pihak lain, begitu juga dari segi kesehatan dan masa depan anak-anak, sulit membiarkan ini terjadi.
Adanya premanisme, perjudian dan minuman keras yang menggejala di kalangan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1) tingkat pendidikan masyarakat yang kurang, (2) faktor ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan dan (3) permasalahan penegakan hukum oleh aparat. Berdasarkan hal tersebut, dalam konteks ini akan dicoba dipaparkan penyelesaian problem sosial tersebut dari sudut pandang pendidikan.
Problem Sosial pada beberapa daerah
Premanisme, perjudian dan minuman keras yang muncul karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, kemiskinan dan kurangnya penegakan hukum.. Dari pengamatan penulis rendahnya tingkat pendidikan ini dimulai dari tingkat pendidikan orang tua sehingga menyebabkan :
1. Kesadaran akan pendidikan anak kurang
2. Tidak berfungsinya pendidikan keluarga
Faktor ekonomi (kemiskinan) karena kesulitan pekerjaan atau penghasilan rendah yang dialami masyarakat tertentu akan menyebabkan :
1. Kemampuan menyekolahkan anak berkurang
2. Pencarian jalan pintas untuk mencapai kesejahteraan memunculkan premanisme dan perjudian.
3. Pengangguran mendekatkan mereka pada minuman keras.
Problem di atas bertambah luas dan rumit juga diakibatkan penegakan hukum yang sangat lemah oleh aparat keamanan.
II. OPTIMALISASI FUNGSI TRI PUSAT PENDIDIKAN
Penyelenggaraan pendidikan adalah menjadi tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Guruvalah 2003 :1). Pendidikan kita terdiri atas tiga bagian. Pertama, pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah) dan nonformal (masyarakat). Sasaran yang ingin dicapai dari pendidikan kita adalah pembentukan aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap mental atau moral) dan psikomotorik (skill/keterampilan). Idealnya, pembentukan aspek kognitif menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah, pembentukan aspek efektif menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua dan pembentukan aspek psikomotorik menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus, dan sejenisnya).
Dengan adanya pembagian tugas seperti ini, masalah pendidikan sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak: orangtua, pendidik (guru) dan masyarakat. Pendidikan moral seperti agama, budi pekerti, etika, dan sejenisnya, menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua. Pendidikan keterampilan seperti kursus komputer, bahasa asing, menjahit, dan sebagainya, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus). Sedangkan pendidikan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah.
Tapi karena tidak setiap keluarga mampu memberikan pendidikan yang dimaksud dalam keluarga, maka sekolah sering merasa perlu untuk memberikan tanggungjawabnya untuk mengembangkan seluruh kemampuan siswa, sehingga sekolah sering memberikan muatan-muatan yang dapat bermanfaat bagi siswa (bukan kognitif saja).
Pada umumnya sekolah sebagai lembaga pendidikan dan merupakan pusat kegiatan belajar mengajar dijadikan tumpuan dan harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah. Karena itu, sekolah senantiasa memberikan pelayanan pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang bersifat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), keterampilan, dan pembentukan sikap mental yang baik bagi peserta didiknya (IMTAQ).
Karena sekolah diberi tumpuan sedemikian besar, maka berimplikasi juga pada kemampuan masyarakat untuk dapat melanjutkan sekolah, akhirnya banyak masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Di lain pihak usaha Pemerintah untuk mengembangkan pendidikan luar sekolah terlihat setengah hati, ini terlihat dari kecilnya proporsi biaya dan kegiatan untuk pendidikan luar sekolah dibandingkan pendidikan formal. Sehingga tidak heran bila kita melihat pengangguran dan problem sosial semakin banyak terjadi di negara kita padahal kalau kita lihat, jumlah sekolah saat ini lebih banyak dibandingkan pada masa-masa yang lampau.
Melihat keadaan seperti itu selain disebabkan oleh faktor ekonomi dan penegakan hukum, problem sosial yang terjadi di beberapa daerah, desa atau kampung disebabkan oleh faktor pendidikan. Jika ditengok ke belakang bahwa pendidikan kita mempunyai pilar yang disebut tri pusat pendidikan, maka terlihat tiga pilar pendidikan kita berjalan tidak optimal. Ketidakoptimalan ini terjadi karena pendidikan formal, pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat berjalan tidak terpadu, bahkan terjadi dikotomi, kadang terjadi saling menyalahkan antara keluarga dan sekolah atau masyarakat tentang penyebab suatu permasalahan yang diakibatkan oleh pendidikan, seperti tanggungjawab pendidikan moral atau agama. Untuk menyelesaikan problem sosial di beberapa daerah, perlu mengoptimalkan tri pusat pendidikan tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Pemerataan Pendidikan formal
2. Muatan nilai pada pendidikan formal
3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah.

2.1 Pemerataan Pendidikan Formal
Walaupun pendidikan formal untuk masyarakat kita dapat dikatakan merata, tapi perlu ditinjau kembali sejauh mana bisa memberikan kontribusi untuk menyelesaikan problem sosial di atas. Khusus untuk desa atau kampung yang mempunyai problem sosial yang tinggi, perlu dilakukan terobosan oleh pemerintah dengan membebaskan pembayaran BP3 pada siswa-siswa yang berasal dari tempat tersebut. Walaupun harus diakui BP3 memberikan kontribusi yang besar pada pelaksanaan pendidikan di sekolah dan peningkatan pendidikan, tetapi pada akhir-akhir ini banyak terjadi ketidakadilan dalam kontribusi BP3 ini, karena terjadi kesewenang-wenangan dalam hal jumlah iuran BP3. Hal ini terlihat banyak sekolah negeri iuaran BP3nya lebih besar dibandingkan bebeberapa sekolah swasta, padahal sekolah negeri sudah menerima subsidi dari pemerintah.
Pemerintah perlu memberi subsidi yang nyata pada daerah-daerah yang banyak mengalami problem sosial, sehingga peningkatan pendidikan pada anak-anak akan merubah sikap mental mereka di kemudian hari. Dalam konteks otonomi daerah, Pemerintah Daerah dapat menggunakan kebijakan daerah untuk memperhatikan daerahnya dan memberikan subsidi yang nyata bagi daerah atau desa/kampung yang mengalami masalah sosial. Pemerintah Daerah Jemberana misalnya, mengambil langkah yang spektakuler dengan membebaskan siswa di kabupaten tersebut dari pembayaran SPP/BP3.

2.2 Muatan Nilai pada Pendidikan Formal
Muatan nilai pada pendidikan formal sudah sangat sering didengar, bahkan sering menjadi polemik apakah menjadi mata pelajatran tersendiri atau diintegrasikan pada mata pelajaran yang lainnya. Dengan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebenarnya sangat memungkinkan memasukkan muatan nilai pada mata pelajaran yang sudah ada.
Pada dasarnya pendidikan bertugas mempersiapkan anak untuk menghadapi hari esok. Dengan demikian pendidikan seyogyanya sesuai dengan kebutuhan anak kelak manakala mereka terjun ke masyarakat. Pendidikan berkewajiban menanamkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan individu dalam mengarungi kehidupannya di masyarakat. Sehingga pendidikan bidang-bidang studi turut pula bertanggung jawab dalam mengembangkan kemampuan itu, (Harry Firman, 2004:3)
Sering terjadi dikotomi atau saling menyalahkan tentang pendidikan nilai, apakah diberikan di sekolah atau di keluarga/masyarakat. Pihak sekolah menganggap pendidikan nilai ada di keluarga, karena sebagian besar waktu anak didik berada di rumah (bukan di sekolah), sedangkan pihak orang tua atau masyarakat memandang karena tugas sekolah juga mendidik aspek afektif dan psikomotorik ada pelajaran moral dan agama, maka kesalahan sering dilimpahkan ke sekolah. Sebenarya pendidikan nilai adalah tanggungjawab dari semuanya sebagai fungsi tri pusat pendidikan, sehingga tidak perlu terjadi dikotomi, semua pihak harus bersatu padu untuk memberikan pendidikan nilai pada anak atau siswa.
Pendidikan agama menjadi tumpuan yang terbesar untuk membentuk watak siswa sehingga memiliki kompetensi moral yang cukup untuk membentuk kepribadian yang baik, dengan demikian kegagalan dalam pendidikan keluarga (jika terjadi) dapat dikompensasi dengan pemberian muatan nilai pada pendidikan formal.


2.3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sebenarnya pendidikan yang strategis untuk menyelesaikan problem sosial, tetapi Pemerintah justru tidak memberikan porsi yang cukup untuk berperan pada akhir-akhir ini.
Di era otonomi daerah, Pemerintah perlu lebih menggerakkan pendidikan non formal tersebut untuk dapat membantu menyelesaikan problem sosial tersebut. Pemda sebenarnya lebih mengetahui kondisi daerahnya dibanding pemerintah pusat sehingga memiliki kebijakan yang lebih tepat bagaimana menyelesaikan problem sosial yang dialami beberapa daerah.
Pendidikan non formal yang hanya bertumpu pada isu-isu yang sudah usang seperti kejar paket A, B atau penuntasan buta aksara perlu dikurangi tetapi perlu menambah atau meningkatkan kegiatan pada isu ; (1) peningkatan kualitas program pendidikan perempuan dan pendidikan orang tua, (2) perluasan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, dan beasiswa pelatihan.
Program Pendidikan Perempuan, yakni program untuk memberikan serta meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta sikap mental perempuan, sehingga mereka mampu melaksanakan fungsi keluarga dalam rangka terciptanya keluarga yang sehat dan sejahtera. Kegiatan-kegiatan dalam program pendidikan perempuan adalah: 1) Pendidikan Keterampilan Usaha Perempuan (PKUP), guna memberikan bekal kemampuan berusaha sehingga mereka memiliki sumber penghasilan yang tetap, 2) Pendidikan Orangtua, guna memberikan bekal kemampuan dalam melaksanakan fungsi keluarga; serta 3) Pemberdayaan Perempuan, guna memberdayakan perempuan sebagai mitra sejajar pria (gender).
Kualitas pendidikan perempuan dan orang tua pada daerah-daerah dengan problem sosial tinggi, akan memberikan dampak yang positif terhadap pendidikan keluarga. Kita mengetahui perempuan dapat menopang ekonomi keluarga, dan lebih banyak bertemu anggota keluarga dalam konteks pendidikan keluarga sehingga ini dapat membawa iklim positif bagi penyelesaian problem sosial
Program Pendidikan Berkelanjutan, terdiri dari: 1) program yang berorientasi pada pemberian bekal pengembangan diri dan profesionalisme melalui kursus yang sesuai dengan kebutuhan warga, seperti: jasa, bahasa, pertanian, kerumahtanggaan, kesehatan, teknik dan perambahan, olahraga kesenian, kerajinan dan industri, serta keterampilan khusus; 2) program yang berorientasi pada pemberian bekal untuk bekerja mencari nafkah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup melalui program Kejar Usaha, Magang, Beasiswa/Kursus; 3) program yang berorientasi pada bekal untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, yang dilaksanakan melalui program Paket C Setara SMU yang diintegrasikan dengan pendidikan keterampilan sehingga adanya peningkatan pengetahuan disertai dengan peningkatan kemampuan bermatapencaharian.
Peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan pada daerah-daerah bermasalah.akan memberikan dampak ekonomi yang bagus, sehingga lambat laun kemiskinan pada daerah bermasalah dapat dikurangi. Pemberian keterampilan akan memberikan ruang yang kondusif bagi penambahan penghasilan keluarga dan dengan adanya kegiatan usaha maka prilaku-prilaku buruk seperti perjudian, minuman keras dapat dikurangi.

IV. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa problem sosial seperti premanisme, perjudian dan minuman keras mengalami peningkatan di beberapa kampung, desa atau daerah, yang perlu dicarikan jalan untuk dapat diselesaikan oleh segenap komponen masyarakat.
Dengan semangat otonomi daerah, Pemerintah Daerah dapat lebih terbuka mengetahui permasalahan-permasalahan tersebut dan memberikan kebijakan-kebijakan yang mengarah bagi penyelesaian problem sosial melalui optimalisasi fungsi tri pusat pendidikan. Optimalisasikan fungsi tri pusat pendidikan melalui :

1. Pemerataan pendidikan formal melalui pemberian subsidi langsung kepada siswa dari daerah-daerah yang mengalami problem sosial
2. Muatan nilai pada pendidikan formal melalui pengitregasian muatan nilai ke mata pelajaran pokok
3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah/nonformal pada daerah-daerah yang mengalami problem sosial dengan :
- peningkatan kualitas program pendidikan perempuan dan pendidikan orang tua,
- perluasan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, dan beasiswa pelatihan.
Pemerintah Daerah selayaknya lebih memperhatikan problem sosial yang terjadi di beberapa daerah, desa, kampung dengan memberikan peningkatan kualitas pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal.

Landasan Kurikulum


MAKALAH

LANDASAN KURIKULUM


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Pengembangan Kurikulum


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


\










Disusun oleh :

Susi Widyawati                  (1209202191)
Suryanto                            (1209202190)
Taufiqurrahman Noer M     (1209202197)
Tika Kartika                       (1209202199)
Weni Gustiani                     (1209202208)
Winda Puspita Sari             (1209202211)
Yeni Nurbaet Intani            (1209202212)
Yana Hendriyana                 (208203525)

PAI



BANDUNG
2011



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .....................................................................................      i
DAFTAR ISI.....................................................................................................     ii
BAB  I     PENDAHULUAN............................................................................     1
A.  Latar Belakang .............................................................................     1
B.  Rumusan Masalah.........................................................................      1
C.  Tujuan............................................................................................    1
BAB  II   PEMBAHASAN...............................................................................     2
A.  Pengertian Kurikulum...................................................................      2
B.  Falsafah Pendidikan .....................................................................      3
C.  Landasan Psikologis......................................................................     6
1.      Landasan Psikologi.................................................................     6
2.      Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Psikologi.........................      6
3.      Ruang Lingkup Psikologi........................................................      7
4.      Landasan Psikologis Proses Pendidikan.................................      7
5.      Tujuan Mempelajari Landasan Psikologis Proses Pendidikan        7
6.      Ruang Lingkup Landasan Proses Psikologis..........................       7
D.  Kemasyarakatan............................................................................    8
1.      Masyarakat sebagai suatu Sistem Sosial.................................      8
2.      Kekuatan Sosial yang Mempengaruhi kurikulum...................       10
E.  Pendekatan Teknologis .................................................................    11
BAB III   KESIMPULAN.................................................................................   13
DAFTAR PUSTAKA


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim,
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Illahi Rabbi karena atas berkat limpahan rahmat serta karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah pengembangna kurikulum yang berjudul “Landasan Kurikulum”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat serta kepada para pengikutnya yang setia.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan baik dari segi isi maupun penyajiannya, hal tersebut dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan yang penulis miliki sehingga makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pengamat makalah ini. Penulis mengharapkan saran serta kritik demi sempurnanya makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.


Bandung,    September 20..


Penulis


ii
 

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Studi tentang manajemen kurikulum dewasa ini smakin mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan yang menekuni bidang pengembangan kurikulum. Studi ini di anggap sebagai bagian terpenting dalam studi pengembangan kurikulum. Hal ini wajar, sebab kurikulum adalah komponen yang penting serta sebagai alt pendidikan yang sangat vital dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Itu sebabnya, setiap institusi pendididkan, baik formal maupun nonformal, harus memiliki kurikulum yang sesuai dan serasi, tepat dengan kedudukan, fungsi dan peranan serta tujuan lembaga tersebut.
Didalam mengenal kurikulum kita harus mengetahui terlebih dahulu landasan-landasan kurikulum, diantaranya landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan landasan teknologis. Maka dari itu didalam pembahasan makalah ini kami membahas tentang landasan-landasan kurikulum tersebut.    

B.        Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari kurikulum berdasarkan penjelasan para ahli?
2.      Apa Manfaat dari mempelajari kurikulum?
3.      Bagaimana landasan kurikulum jika ditinjau dari segi filosofis, psikologis, sosiologis, dan teknologis?

C.       Tujuan
1.      Mengetahui dari kurikulum berdasarkan penjelasan para ahli
2.      Mengetahui manfaat mempelajari kurikulum.
3.      Mengetahui landasan kurikulum jika ditinjau dari segi filosofis, psikologis, sosiologis, dan teknologis



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Kurikulum
Al-Khauly (1981) menjelaskan bahwa kurikulum sebagai perangkat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
Definisi yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dikembangkan ke arah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Oliva (1988), mendefinisikan kurikulum sebagai rencana atau program yang menyangkut semua pengalaman yang dihayati peserta didik di bawah pengarahan sekolah atau perguruan tinggi.
Definisi yang dikemukakan oleh  Kemp, Morrison dan Ross (1994) menekankan pada isi mata pelajaran dan keterampilan-keterampiulan yang termuat dalam suatu program pendidikan.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat ditarik benang merah, bahwa di satu pihak ada yang menekankan pada isi pelajaran, dan dilain pihak lebih menekankan pada proses atau pengalaman belajar. Kurikulum yang menekankan pada isi, bertolak dari asumsi bahwa masyarakat bersifat statis. Sedangkan kurikulum yang menekankan pada proses atau pengalaman bertolak dari asumsi bahwa peserta didik sejak dilahirkan memiliki potensi-potensi, baik potensi untuk berpikir, berbuat, memecahkan masalah, maupun untuk belajar dan berkembang sendiri.
Dari kedua pihak yang menekankan isi dan yang menekankan pada proses, muncul pihak ketiga, yakni yang memadukan keduanya, yakni menekankan pada isi dan proses. Pihak ini berasumsi bahwa manusia sebagai makhluk social.
Jika ketiga pihak tersebut ditelusuri dari segi landasan filosofisnya, maka konsep pengembangan kurikulum dari pihak pertama penganut aliran perennialisme dan essensialiisme. Pihak kedua termasuk dalam progressivisme dan eksistensialisme. Sedangkan pihak ketiga termasuk dalam rekontruksi social (Muhaimin, 2003).[1]

B.        Falsafah Pendidikan
Sekumpulan masyarakat tentunya menginginkan agar setipa warganya merupakan insan-insan yang baik, sesuai dengan cita-cita dan nilai social masyarakat tersebut. Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia yang baik. Menurut cita-cita dan nilai tersebut, pandangan tentang manusia yang dicita-citakan tergambar dari falsafah pendidikan yang mendasari system penidikan masyarakat tersebut. Salah satu perumusan tentang falsafah pendidikan dikemukakan oleh Romine sebagai berikut:
“….An educational philosophy is what one believes and purposes to do. It suggests a faith in some ideals or values, plus appropriate course of action, it is appropriate to philosophy”.
Perumusan diatas mengandung pengertian bahwa falsafah pendidikan menyatakan sesuatu yang sangat penting, karena mengandung keyakinan yang berupa serangkaian cita-cita dan nila-nilai yang sangat baik mmenurut pandangan masyarakat. Disamping itu, suatu falsafah pendidikan member petunjuk cara berbuat atau bertingkah laku yang baik dalam masyarakat. Selain itu, falsafah pendidikan juga merupakan semacam Guiding principles bagi setiap orang, dalam hal ini memberikan petunjuk dalam proses operasional untuk mencapai cita-cita tersebut.
Maksud dan tujuan pendidikan disusun berdasarkan kumpulan pemikiran sebuah falsafah pendidikan. Sebuah tujuan pendidikan adalah sebuah pernyataan dari pemikiran penulis yang meyakini falsafahnya yang diarahkan langsung untuk misi sekolah. Seperti dalm ucapan berikut.
Walaupun pemikiran filodofis ini dikenal dengan sebutan yang berbeda, dan dalam sekolah juga terdapat falsafah pendidikan, pada umumnya terdapat empat falsafah yaitu :
1.         Rekonstruksisme
Menurut Hilda taba, John Dewey secara konsisten mengamati fungsi sekolah dalam kaidah psikologi. Berdasarkna filsafat Dewey, Rekonstruksisme  mengikuti sebuah alur yang meyakini dan mengemukakan bahwa keberadaan sekolah adalah untuk adanya perbaikan dalam masyarakat. Geirge S. Counts, dalam bukunya “Dare the school Build a New Sosial Order” menantang para pendidik untuk kembali memperitmbangkan peran sekolah dalam masyarakat.
Secara gamblang, Theodor Brameld menguraikan nilai-nilai Rekonstruksisme, yaitu banyaknya orang yang menginginkan hal-hal sebagai verikut :
a.       Makanan yang cukup
b.      Pakaian yag cukup
c.       Perlindungan dan kebebasan
d.      Kebutuhan seksual dan pelayanan
e.       Jiwa dan mental yang sehat
f.       Rekan kerja dan bisnis
g.      Persahabatan, saling setia dan kepribadian
h.      Pengakuan, penghargaan dan status
i.        Sesuatu yang baru, keingitahuan, variasi, petualangan, pertumbuha, dan daya kreasi
j.        Kemampuan membaca, kepandaian, dan informasi
k.      Partisipasi dan tukar pikiran serta
l.         Pengertian, perintah dan tujuan
Beberapa pendidik setuju bahwa pemuda harus memikirkan tantangan dan masalah social, ekonomi, dan politik, serta berusaha untuk mencapai mufakat dalam mencari solusi. Premis utama dari falsafah ini adalah untuk menjadikan sekolah sebagai agen utama dlam perubahan social.
2.         Perenialisme
Dalam tradisi plato, Aristoteles dan ahli filsafat Katolik, St Thomas Aquinas, pendidikan bermaksud mengatur pikiran, kemampuan, perkembangan rasio dan pencarian kebenaran.
Perenialisme sekuler mendukung kurikulum sebuah akademi dengan tata bahasa, kepandaian berbicara, logika, bahasa lama dan baru, matematika dan peradaban dunia. Berkaitan dengan hal ini, Robet M. Hutchins dikenal sebagai orang yang meguraikan falasafah Perenialisme di amerika. Menurutnya Perenialisme diajukan dari kebutuhan-kebutuuhan sekarang siswa, spesifikasi pendidikan, dan latihan kejuruan. Hutchins memberikan penekanan ini ketika ia menyatakan bahwa pendidikan yang disempurnakan untuk yang mendesak, bukanlah sebuah pendidikan yang bermanfaat. Pendidikan ideal adalah sebuah pendidikan yang ikut memperhatikan pengembangan pikiran. Secara garis besar, Perenialisme tidak dapat membuktikan sebuah filsafat yang menarik  untuk sistem pendidikan.
3.         Esensialisme
Menurut sejarah, esensialis dan progresifis berhasil mengendalikan kesetiaan masyaraka umum Amerika dari tahun 1635, yang diawali denga berdirinya sekolah latin Boston sampai tahun 1896, atas prakarsa asisten John Dewey di Universitas Chicago, menurut esensialis, pendidikan bertujuan untuk menyebarkan budaya. Apabila rekonstruksionis hendak mengubah masyarakat secara aktif, sebaliknya esensialis menghindari hal tersebut.
Bahan pokok kurikulum adalah sebuah rencana esensialis tentang organisasi kurikulum dan teknik-teknik pemberian pelajaran, dengan tes sebagai metodenya. Karya ilmiah, yakni kemampuan mendaur ulang apa yang telah dipelajari, merupakan nilai yang tinggi, dan pendidikan diawasi sebagai persiapan mencapai maksid pendidikan, seperti perguruan tinggi, lapangan kerja dan kehidupan.
Dalam falsafah ini terdapat prinsip behavioristik, yaitu esensilitas meneukan dasar-dasar tingkah laku yang selaras dengan keyakinan filosofis. Kemampuan dasar menjadi prioritas bagi esensialis. Begitu pula halnya denganberbagai program pendidikan dan latihan yang menjadi titik orientasi eensialis.

4.         Progresivisme
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, progresivisme yang dikenal juga dengan nama pragmatism, berkembang melalui struktur pendidikan di Amerika sebagai jawaban atas doktrin esensialisme. Dengan tokoh-tokohnya seperti John Dewey, William H. Kilpatrick, John Childe, dan boyd Bode, progresivisme berupaya menyajikan bahan dasar bagi para pelajar. Berkaitan dengan hal ini, penganut progresivismw mebuka sekolah untuk anak-anak sebagai sekolah penelitian di Universitas Chicgo. John Dewey pun kemudian mengupullkan bahan-bahan pemikiran progresivisne dalam sebuah seri penerbitan, antra lain “Democrary and Education”, “Experience and Education”, “How we Think”, dan “Pedagogic Creed”.
Sikap progresivis yang menyatakan bahwa anak harus memahami pengalaman pendidikan “di sisni ” dan “sekarang”, mepunyai filosofi “Pendidikan adalah Hidup”, “belajar denga melakukan”. Para progresivis mendorong sekolah agar menyediakan pelajaran bagi setiap individu yang berbeda, baik dalam mental, fisik, emosi, spiritual dan perbedaan social.

C.       Landasan Psikologis
1.         Landasan Psikologi
Landasan psikologis merupakan dasar-dasar pemahaman dan pengkajian sesuatu dari sudut karakteristik dan prialku manusia, khususnya manusia sebagai individu. Dasar-dasar pemahaman dan pengkajian tersebut diambil dari satu cabang ilmu yang disebut psikologi.

2.         Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Psikologi
Setiap orang membutuhkan pengetahuan tentang psikologi, sebab dalam kehidupan sesorang selalu menghadapi, bergaul dan bekerjasama dengan oranglain. Orang-orang yang dalam pekerjaanya memberikan pelayana kepada orang lain atau menghadapi orang membutuhkan pengetahuan psikologi yang lebih banyak dan mendalam dibandingkan dengan orang-orang yang menghadapi orang hanya dalam pergaulan dan dalam kehidupan keluarga.

3.         Ruang Lingkup Psikologi
a.       Psikologi umum
Sering disebut sebagai pengantar psikologi, merupakan studi tentang prilaku atau kegiatan individu secara umum.
b.      Psikologi Khusus
Terdiri dari psikologi perkembangan seperti mempelajari prilaku dan karakteristik individu dalam tahap perkembangan.
Psikologi Kepribadiaan merupakan cabang dari psikologi yang khusus mempelajari kepribadiian individu.
Psikologi diferensial, mempelajari perbedaan-perbedaan kemampuan dan kegiatan dari individu.

4.         Landasan Psikologis Proses Pendidikan
Studi atau ilmu yang mempelajari penerapan dasar dan prinsip-prinsip, metode-metode, teknik dan pendekatan psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah dalam pendidikan ini disebut ”Landasan Psikologis Proses Pendidikan”.[2]

5.         Tujuan Mempelajari Landasan Psikologis Proses Pendidikan
Ada 2 tujuan yaitu yang pertama agar guru, para pendidik atau calon guru dan calaon pendidik mempunyai paham yang lebih baik tentang situasi pendidikan.
Yng kedua yaitu agar calon guru, pendidik atau guru mampu menyiapkan dan melaksanakan pengajaran dan terhadap siswa, peserta didik dengan lebih baik.

6.         Ruang Lingkup Landasan Proses Psikologis
Mempelajari situasi pendidikan dengan fokus utama interaksi pendidikan yaitu interaksi antara siswa dengan guru, yang berlangsung dalam situasi lingkungan.
D.       Kemasyarakatan
Pendidikan merupakan suatu proses sosial, karena berfungsi memasyarakatan anak didik melalui proses sosialisasi di dalam masyarakat tertentu. Sekolah, sebagai salah satu institusi pendidikan, berperan juga sebagai institusi sosial,karena melalui lembaga tersebut anak dipersiapkan untuk mampu terjundan aktif dalam kehidupan masyarakatnya kelak.
Anak-anak berasal dari masyarakat, dan mereka belajar tentang cara hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, sekolah harus bekerja sama dengan masyarakat, dan program sekolah harus disusun dan diarahkan oleh masyarakat yang menunjang sekolah tersebut. Program pendidikan disusun dan dipengauhi oleh nilai, masalah, kebutuhan, dan tantangan dalam masyarakat sekitarnya. Ini berarti kurikulum disusun berlandaskan dasar sosiologis yang akan menjadi pembahasan dalam bab ini.
1.         Masyarakat sebagai suatu Sistem Sosial
Ciri universal dari manusia adalah hidup dalam berkelompok. Manusia lahir dalam berkelompok, dan melalui kehidupan bersama ini manusia belajar dan memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan sebagainya. Dalam berkelompok pula manusia mempelajari peralatan dan berbagai proses kehidupan, serta menerima agama dan pandang hidup.
Masyarakat adalah suatu sistem atau totalitas, yang didalamnya terdapat berbagai subsistem yang berjenjang secara struktural, mulai dari subsistem kepercayaan subsistem nilai atau norma-norma, subsistem kebutuhan, dan subsistem permintaan.
Subsistem kepercayaan menjadi dasar munculnya subsistem nilai, yang kemudian mendasari subsistem kebutuhan, dan selanjutnya mendasari subsistem permintaan. Pemenuhan atas suatu subsistem akan memengaruhi atau mengubah subsistem berikutnya, demikian seterusnya.
Masyarakat suatu sistem maupun subsistem berikutnya dapat memengaruhi proses pendidikan, oleh karenanya mereka harus dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum.
a.       Subsistem Kepercayaan / Keyakinan Hidup 
Setiap masyarakat mempunyai kepercayaan atau keyakinan tentang bentuk manusia yang mereka cita-citakan. Cita-cita tersebut biasanya terkandung dalam kepercayaan agama atau falsafah hidup masyarakat. Bangsa kita memiliki keyakinan, bahwa manusia yang diharapkan atau dicita-citakan oleh masyarakat adalah manusia pembangunan yang berpancasila. Di dalam pancasila telah terkandung kayakinan beragama, sehingga dapat kita tafsirkan bahwa manusia Pancasila sudah tentu memiliki keyakinan beragama. Falsafah Pancasila ini menjadi dasar dari tujuan pendidikan nasional, yang berarti pula mendasari kuikulum diberbagai sekolah kita.
b.      Subsistem Nilai
Nilai adalah ukuran umum yang di pandang baik oleh masyarakat dan menjadi pedoman dari tingkah laku manusia tentang cara hidup yang sebaik-baiknya. Nilai-nilai ini sesungguhnya bersumber dari subsistem pandangan hidup yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai-nilai tadi merupakan pertimbangan dan memberikan arah, umumnya terhadap pendidikan dan khususnya pembinaan kurikulum.
c.       Subsistem kebutuhan masyarakat
Pada dasarnya, pendidikan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum harus berdasarkan kebutuhan masyarakat dan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kurikulum yang demikian adalah kurikulum yang relevan dengan masyarakat.
d.      Subsistem permintaan atau tuntutan(demands)
Kebutuhan masyarakat mendorong munculnya permintaan yang perlu dipenuhi. Sebagai contoh, andaikan masyarakat membutuhkan atau menuntut adanya perumahan, penyelesaian kenakalan remaja, keterampilan, pengupahan dan perburuan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Berdasarkan permintaan-permintaan tersebut, maka perencana kurikulum dapat memilih bahan-bahan dan pengalaman-pengalaman kurikulum yang relevan dengan masyarakat.
Dalam pengembangan kurikulum perlu dipertimbangan berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini berguna untuk:
1)      Mengorientasikan kurikulum pada pusat-pusat kehidupan (major areas of  living)
2)      Membantu merumuskan falsafah dan tujuan-tujuan pendidikan;
3)      Membantu pelaksanaan berbagai prinsip dan prosesyang dipelajari melalui pengalaman-pengalaman kurikuler;
4)      Merangsang minat murid dan mengusahakan kegiatan belajar menjadi lebih luas;
5)      Melengkapi dasar pengembangan unit-unit pelajaran;
6)      Melengkapi dasar proyek dan topik-topik pelajaran;
7)      Melengkapi dasar pengembangan pelajaran yang bertujuan dalam penyelesaian suatu masalah; dan
8)      Melengkapi proyek kerja sama sekolah dan masyarakat, ketika para siswa dapat berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.
2.         Kekuatan Sosial yang Mempengaruhi kurikulum
Sekolah adalah institusi sosial yang didirikan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, wajar jika dalam penyusunan dan pelaksanaannya kurikulum sekolah banyak berkembang dan selalu berubah didalam masyarakat. Pengaruh tersebut berdampak pada komponen-komponen kurikulum seperti tujuan pendidikan, siswa, isi kurikulum, maupun situasi sekolah tempat kurikulum dilaksanakan.
Berbagai kekuatan sosial yang mempengaruhi pengembangan kurikulum ada beraneka ragam. James W. Thornton dan John R. Wright, dalam bukunya ’’secondary school curiculum’’, mengaflikasikan kekuatan sosial yang mempengaruhi kurikulum:
a.       Kekuatan sosial yang resmi, terdiri atas:
1)      Pemerintah suatu negara, melalui Undang-Undang Dasar, dasar negara,falsafah dan ideologi negara;
2)      Pemerintah daerah, melalui berbagai kebijakn pemerintah dalam bidang pendidikan; dan
3)      Perwakilan Departemen Pendidikan setempat.
b.      Kekuatn sosial setempat, yang terdiri atas:
1)      Yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan;
2)      Kerukunan atau persatuan keluarga sekolah-sekolah sejenis;
3)      Perguruan Tinggi, yakni universitas, akademi, maupun institut;
4)      Persatuan Orang Tua Murid dan Guru;
5)      Penerbit buku-buku pelajaran;
6)      Perkumpulan yang berdasarkan kemanusiaan;
7)      Manusia masa seperti radio, televisi, dan surat kabar; dan
8)      Adat kebiasaan masyarakat setempat.
c.       Organisasi profesional, seperti persatuan Guru, Persatuan Guru, Persatuan Dokter, dan ahli hukum.
E.        Pendekatan Teknologis
Pendekatan teknologis dalam menyusun kurikulum bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.  Materi yang diajarkan, criteria evaluasi sukses dan strategi belajarnya disesuaikan dengan job analysis.  KBK termasuk ke dalam kategori pendekatan teknologis.
Pembelajaran PAI dikatakan menggunakan teknologis, jika ia menggunakan pendekatan system dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan dan menilainya. Manfaat dari pendekatan teknologis agar pencapaian hasil pembelajarannya (tujuan) dapat dievaluasi dan diukur dengan jelas dan terkontrol. Dari rancangan proses pembelajaran sampai mencapai hasil tersebut diharapkan dapat dilaksanankan secara efektif, efisien, dan memiliki daya tarik.
Adapun keterbatasan dari pendekatan teknologis, diantaranya terbatas pada hal-hal yang telah dirancang sebelumnya, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun produknya. Apabila kegiatan pembelajaran PAI hanya sampai pada penguasaan materi dan keterampilan menjalankan ajaran agama, bisa menggunakan pendekatan teknologis, sebab proses dan produknya bisa dirancang sebelumnya. Namun, jika pembelajaran  PAI harus sampai pada taraf kesadaran iman dan pengamalan ajaran agama Islam, maka pendekatan teknologis akan sulit diterapkan, karena dari prosesnya bisa dirancang, tetapi hasil pembelajarannya tidak bisa dirancang dan sulit diukur. Maka dari itu, tidak semua pesan-pesan pembelajaran PAI dapat dilakukan dengan pendekatan teknologis.[3]



BAB III
KESIMPULAN

Dari beberapa definisi para ahli mengenai kurikulum dapat ditarik benang merah yaitu disatu pihak ada yang menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah dan dilain pihak lebih menekankan pada proses atau pengalaman pelajaran.
Dengan memahami pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang landasan-landasan psikologis, guru-guru dan pendidik lainnya diharapkan mampu menciptakan interaksi pendidikan, perlakukan mendidik yang efektif dan efisien.
Falsafah pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting karena mengandung keyakinan yang berupa serangkaian cita-cita dan nilai-nilai yang sangat baik menurut pandangan masyarakat. Pada umumnya terdapat empat falsafah yaitu rekonstruksisme, perelialisme, esensialisme, dan progresifisme.
Masyarakat adalah suatu sistem atau totalitas yang didalamnya terdapat berbagai subsistem yang berjenjang secara struktural mulai dari subsistem kepercayaan, subsistem nilai atau norma-norma, subsistem kebutuhan, dan subsistem permintaan.
Masyarakat merupakan sistem yang dapat mempengaruhi proses pendidikan, oleh karenanya hal ini harus dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum.
Pembelajaran PAI dikatakan menggunakan pendekatan teknologis jika di dalamnya terdapat pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan, dan menilainya. Akan tetapi, pendekatan teknologis ini akan sulit diterapkan karena proses dapat dirancang namun hasil pembelajrannya tidak dapat dirancang dan sulit diukur.






DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar, 2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhaimin, 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nana Syaodih Sukmadinata, 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sudjana, Nana, 2008. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Sekolah, Bandung: Sinar Baru Algensindo.





i

 



 



[1] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 5
[2] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 28
[3] Muhaimin, Op Cit.., hlm. 164
 

teks blog